Hukuman Bagi Provokator

Hukuman Bagi Provokator
*) Oleh : Muhammad Nashihudin, MSi
Ketua Majelis Tabligh PDM Jakarta Timur
www.majelistabligh.id -

Firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala).:

إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا

kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (An-Nisa: 92)

Dalam kasus pembunuhan tidak sengaja diat harus diserahkan kepada keluarga si terbunuh, kecuali jika keluarga si terbunuh menyedekahkannya (memaafkannya), maka hukum diat tidak wajib lagi.

*******

Firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala).:

فَإِنْ كانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. (An-Nisa: 92)

Bilamana si terbunuh adalah orang mukmin, tetapi semua keluarganya adalah orang-orang kafir harbi yang bermusuhan dengan kalian, maka tidak ada diat bagi mereka, dan si pembunuh diwajibkan memerdekakan seorang budak yang mukmin, tanpa ada sanksi lainnya lagi.

*******

Firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala).:

وَإِنْ كانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثاقٌ

Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian. (An-Nisa: 92)

Jika keluarga si terbunuh adalah orang-orang kafir zimmi, atau yang ada perjanjian perdamaian dengan kalian, maka mereka mendapat diatnya. Jika si terbunuh adalah orang mukmin, maka diatnya lengkap; demikian pula jika si terbunuh kafir, menurut pendapat segolongan ulama. Tetapi menurut pendapat yang lain, bila si terbunuhnya adalah orang kafir, maka diatnya hanya separo diat orang muslim. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sepertiganya. Rincian mengenai masalah ini dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Si pembunuh diwajibkan pula memerdekakan seorang budak yang mukmin selain diat tersebut.

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامُ شَهْرَيْنِ مُتَتابِعَيْنِ

Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut. (An-Nisa: 92)

Tidak boleh berbuka barang sehari pun di antara dua bulan itu, melainkan ia lakukan puasanya secara berturut-turut dan langsung hingga bulan yang kedua. Untuk itu jika ia berbuka tanpa uzur sakit atau haid atau nifas, maka ia harus memulainya lagi dari permulaan.

Para ulama sehubungan dengan masalah ini berbeda pendapat mengenai bepergian, apakah orang yang bersangkutan boleh memutuskannya atau tidak. Ada dua pendapat mengenai masalah ini.

 

Tinggalkan Balasan

Search