Ilmu pengetahuan sejatinya bukan sekadar kumpulan rumus, teori, atau hafalan yang dikejar demi nilai. Ilmu adalah cahaya yang menerangi hati, membimbing akhlak, dan mengarahkan kehidupan.
Namun, hari ini kita menyaksikan fenomena di mana ilmu diajarkan tanpa ruh: tanpa makna, tanpa kesadaran, dan tanpa kebermanfaatan. Inilah tanda ilmu tak lagi bernyawa, sehingga pendidikan kehilangan arah dan tujuan.
Ilmu yang Berhenti di Kertas dan Lisan
Orientasi pendidikan modern sering kali hanya menekankan prestasi akademik. Peserta didik dipacu untuk menguasai materi, menghafal definisi, dan lulus ujian dengan nilai tinggi. Namun, jika ilmu hanya berhenti pada kertas dan lisan, ia tak akan melahirkan kebijaksanaan.
Nabi Muhammad ﷺ mengingatkan dalam doanya:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Muslim, no. 2699)
Imam al-Ghazali menegaskan:
“Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah; ia mungkin indah, tetapi tidak memberi manfaat.” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 1, Bab Fadhail al-‘Ilm)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga berpesan:
“Seorang yang menuntut ilmu wajib memprioritaskan ilmu yang bermanfaat, yang mendekatkannya kepada Allah dan memberi manfaat bagi manusia.”
(Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatawa al-Mar’ah wa al-Tarbiyah, hal. 45)
Ilmu yang tidak mengubah perilaku dan tidak memberi manfaat hanyalah pengetahuan kosong.
Ketika Pendidikan Kehilangan Tujuan
Jika ilmu kehilangan ruh, maka pendidikan pun kehilangan arah. Sekolah dan kampus bisa terjebak menjadi pabrik pencetak tenaga kerja atau sekadar tempat mencari ijazah. Padahal, tujuan sejati pendidikan adalah melahirkan manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak.
Fenomena yang muncul kemudian adalah generasi pintar tapi kering spiritualitas. Mereka tahu teori etika, tetapi tidak beretika. Mereka menguasai teknologi, tetapi menggunakannya untuk merusak. Mereka cerdas secara akademis, tetapi rapuh secara moral.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menekankan:
“Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing jiwa, membersihkan hati, dan menumbuhkan amal.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Juz 2, hal. 67)
Menghidupkan Kembali Ruh Ilmu
Agar ilmu kembali bernyawa, pendidikan perlu diarahkan pada tiga dimensi utama:
Ilmu yang menumbuhkan kesadaran akan Allah (hablun minallah). Sains dan teknologi harus mendekatkan manusia kepada Sang Pencipta.
Ilmu yang bermanfaat bagi sesama (hablun minannas). Ilmu sejati adalah yang memberi kontribusi bagi masyarakat, bukan hanya ambisi pribadi.
Ilmu yang membentuk akhlak. Tanpa akhlak, kepandaian bisa menjadi bencana.
Ilmu yang bernyawa adalah ilmu yang menyinari hati, membimbing amal, dan memberi manfaat. Jika pendidikan hanya mengajarkan pengetahuan tanpa kesadaran, ia hanyalah rutinitas tanpa tujuan.
Maka, mari kita kembalikan ruh ilmu dalam pendidikan: menjadikannya cahaya kehidupan, bukan sekadar hafalan yang membebani. Karena ilmu tanpa ruh hanyalah hafalan, dan pendidikan tanpa tujuan hanyalah formalitas.
Referensi:
- Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 1, Bab Fadhail al-‘Ilm, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
- Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Hadis No. 2699.
- Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatawa al-Mar’ah wa al-Tarbiyah, Riyadh: Dar al-Watan, 1998.
- Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Juz 2, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
