Jaminan Allah SWT atas Keotentikan Al Qur`an

Jaminan Allah SWT atas Keotentikan Al Qur`an
*) Oleh : Agus Priyadi, S.Pd.I
Ketua MT Ranting Danaraja, anggota MT Cabang Merden dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara
www.majelistabligh.id -

Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, memiliki posisi yang unik di antara kitab-kitab samawi lainnya. Keontentikannya yang terjaga dari masa ke masa menjadi salah satu mukjizat terbesarnya. Berbeda dengan kitab-kitab suci sebelumnya yang mengalami perubahan dan interpolasi, Al-Qur’an secara historis dan tekstual terbukti otentik. Keontentikan ini tak hanya dijamin oleh pernyataan Allah SWT, tetapi juga didukung oleh metode periwayatan yang ketat, hafalan yang masif, serta bukti-bukti historis lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa Al Qur`an adalah wahyu Allah SWT, bukan hasil karya manusia. Al qur`an juga memuat ajaran dan hal-hal yang agung di luar batas – batas kemampuan manusia. Meskipun demikian, kebenaran Al Qur`an dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga mematahkan tuduhan kaum kafir bahwa Al qur`an adalah buatan Muhammad.

Jantung dari keyakinan umat Islam akan keotentikan Al-Qur’an terletak pada firman Allah SWT sendiri. Dalam surat Al-Hijr ayat 9, Allah SWT menyatakan:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Ayat ini merupakan deklarasi tegas dari Sang Pencipta bahwa Dialah yang akan menjaga Al-Qur’an dari segala bentuk campur tangan manusia, baik berupa penambahan, pengurangan, maupun perubahan. Kata “adz-Dzikr” dalam ayat ini merujuk secara khusus kepada Al-Qur’an. Jaminan ini bukanlah janji kosong, melainkan sebuah realitas yang terwujud melalui berbagai mekanisme yang ditetapkan oleh-Nya.

Jaminan ini juga diperkuat oleh ayat lain seperti tertuang dalam Surah Fussilat ayat 41-42:

وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لَّا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fussilat: 41-42)

Ayat ini secara metaforis menggambarkan Al-Qur’an sebagai benteng yang tak bisa ditembus oleh kebatilan. Ini mengisyaratkan bahwa segala upaya untuk merusak atau mengubah isinya akan sia-sia, karena Al-Qur’an memiliki kemuliaan dan perlindungan Allah SWT.

Jaminan Allah SWT di atas terwujud dalam dua mekanisme utama yang bekerja secara parallel yaitu hafalan dan penulisan. Pertama, periwayatan dengan hafalan. Di zaman Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab dikenal sangat kuat daya ingatnya. Kebiasaan mereka yang tidak mengenal baca-tulis membuat mereka mengandalkan ingatan untuk melestarikan syair, silsilah, dan sejarah. Al-Qur’an memanfaatkan tradisi ini dengan maksimal. Setiap kali ayat turun, Nabi SAW langsung membacakannya kepada para sahabat dan menganjurkan mereka untuk menghafalnya. Ribuan sahabat, termasuk para penulis wahyu seperti Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan Abdullah bin Mas’ud, menjadi penghafal Al-Qur’an (huffazh).

Periwayatan secara lisan ini dilakukan secara mutawatir, yaitu periwayatan oleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi yang tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Ini menciptakan sebuah rantai transmisi yang kuat dan tak terputus. Imam Muslim meriwayatkan dalam sahihnya, hadis dari Abu Hurairah:

«مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أُعْطِيَ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَطْنُ مِنْ قَوْمِهِ ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إِلَيَّ ، فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَ هِمْ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Artinya: “Tidak ada seorang nabi pun kecuali diberi sesuatu yang sepertinya kaumnya beriman dengannya. Dan sesungguhnya yang diberikan kepadaku adalah wahyu (Al-Qur’an) yang diwahyukan Allah kepadaku. Maka aku berharap aku menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Hadis ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa mukjizat Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur’an, tidak bersifat fisik yang musnah seiring waktu, melainkan berupa wahyu yang dapat dihafal dan terus ada sepanjang masa.

Kedua, pembukuan. Selain dihafal, Al-Qur’an juga ditulis. Nabi SAW memiliki penulis wahyu yang selalu siaga untuk mencatat ayat-ayat yang turun. Ayat-ayat ini ditulis di berbagai media seperti pelepah kurma, lempengan batu, tulang belulang, dan kulit binatang. Meskipun tersebar, tulisan-tulisan ini menjadi pelengkap bagi hafalan para sahabat.

Pasca-wafatnya Nabi, khususnya setelah banyak penghafal Al-Qur’an gugur dalam Perang Yamamah, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq atas usulan Umar bin Khattab memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an. Tugas mulia ini diserahkan kepada Zaid bin Tsabit. Zaid tidak hanya mengandalkan hafalannya, tetapi juga memverifikasi setiap ayat dengan dua saksi yang menghafal dan memiliki tulisan ayat tersebut, memastikan setiap bagian dari mushaf sesuai dengan apa yang diturunkan kepada Nabi.

Tahap selanjutnya, pada masa Khalifah Utsman bin Affan, terjadi perbedaan bacaan (qira’at) di berbagai wilayah. Untuk menyatukan umat, Utsman memerintahkan penyalinan mushaf standar yang dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Mushaf ini dikirim ke berbagai pusat kekhalifahan, dan semua salinan pribadi yang berbeda dibakar. Tindakan drastis ini bertujuan untuk menghindari perpecahan dan menjamin satu teks standar yang otentik.

Selain nash al qur`an dan bukti sejarah, keontentikan Al-Qur’an juga dapat dilihat dari beberapa aspek logis dan ilmiah:

  1. Tantangan Ilahi (Al-I’jaz al-Qur’an): Al-Qur’an menantang manusia dan jin untuk membuat satu surah yang serupa dengannya. Hingga kini, tantangan ini tak pernah bisa dipenuhi, menunjukkan kemukjizatan linguistik dan keagungannya.
  2. Kesesuaian dengan Sains: Banyak ayat Al-Qur’an yang menyinggung fenomena alam, seperti embriologi, siklus air, dan astronomi. Sejumlah ilmuwan, baik Muslim maupun non-Muslim, menemukan adanya kesesuaian antara deskripsi Al-Qur’an dengan temuan sains modern, padahal Al-Qur’an diturunkan 14 abad lalu. Meskipun tidak semua ayat dapat diinterpretasikan secara ilmiah, keberadaan beberapa ayat yang selaras dengan sains menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan karya manusia di zamannya.
  3. Konsistensi Internal: Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih, dalam konteks sosial, politik, dan emosional yang berbeda. Namun, isinya tidak menunjukkan adanya kontradiksi internal, baik dalam narasi, ajaran, maupun prinsip-prinsip moralnya. Konsistensi ini sulit dicapai oleh karya manusia.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa keontentikan Al-Qur’an bukanlah klaim tanpa dasar. Ia adalah sebuah kenyataan yang ditopang oleh janji Allah SWT, dibuktikan oleh mekanisme historis yang ketat (hafalan dan penulisan), dan diperkuat oleh argumentasi logis serta keajaiban ilmiah. Dengan demikian, setiap Muslim memiliki keyakinan yang kuat bahwa Al-Qur’an yang mereka baca hari ini adalah teks yang sama persis dengan yang diterima Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search