Joget di Ruang Sidang, Amarah di Jalanan

Joget di Ruang Sidang, Amarah di Jalanan
*) Oleh : Farid Firmansyah, M.Psi
Anggota Majelis Tabligh PWM Jatim
www.majelistabligh.id -

Kita semua pernah merasakan momen ketika suasana hati publik sedang ringkih, harga-harga naik, kabar buruk datang bergelombang, lalu muncul cuplikan video para pejabat “bersuka ria”.

Potongan gambar itu beredar cepat, memantik komentar pedas, dan sebagian masyarakat menumpahkan kecewa di jalan. Apakah joget itu salah? Apakah kemarahan masyarakat sepenuhnya keliru?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul bukan hanya karena peristiwa tunggal, melainkan karena rasa keadilan yang terusik. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai expectancy violation, ketika perilaku pejabat tak selaras dengan ekspektasi publik tentang keteladanan dan kepekaan situasional, kemarahan moral (moral outrage) mudah menyala.

Dari sisi psikologi sosial, ekspresi gembira di ruang simbolik negara bersinggungan dengan display rules—aturan tak tertulis tentang kapan emosi pantas diekspresikan.

Di saat publik sedang penat, selebrasi pejabat terasa seperti tone-deaf optics-salah waktu, salah tempat. Ada pula fairness heuristic, naluri cepat menilai adil–tidaknya sebuah tindakan; ketika manfaat publik dirasa tidak merata, gestur euforia elite dibaca sebagai ketidakpekaan.

Di sini, Islam mengingatkan batas rasa dan perilaku. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqman ayat 18).

Kerendahan hati dan kehati-hatian berbicara adalah bagian dari akhlak jabatan.

Lalu mengapa sebagian aksi masyarakat berubah anarkis? Psikologi massa memberi beberapa kunci de-individuasi (identitas personal larut dalam kerumunan menyebabkan kontrol diri melemah), emosi menular (kemarahan menyebar seperti api), dan relative deprivation (rasa tertinggal dibanding harapan) yang memupuk frustrasi.

Ditambah frustrationaggression hypothesis kekecewaan yang menumpuk mudah meledak bila ada pemicu visual yang kuat. Di sinilah Islam memberi aturan,“janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”, (QS. Al-Baqarah: 190).

Apa jalan pulihnya? Pada pihak pejabat, psikologi organisasi menyarankan rumus AAA Acknowledge – Apologize – Act. Akui sensitivitas publik, mohon maaf tanpa defensif, lalu tindak lanjuti dengan langkah perbaikan (pengetatan protokol etika, transparansi, dan emotional labor dalam jabatan adalah kemampuan mengelola ekspresi di ruang publik).

Nilai islam yang sejalan adalah “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari–Muslim).

Pada pihak masyarakat, hak menyuarakan pendapat tetap dijaga, tetapi dituntun akal sehat dan adab. QS. Al-Hujurat: 10 mengajak islah atau mendamaikan, bukan membakar.

Dalam kenyataannya, itu berarti jaga damai saat aksi, tolak provokasi, utamakan kanal aspirasi yang sah, dan rawat empati lintas kubu. Kita boleh keras pada masalah, tapi tetap lembut pada manusia.

Pada akhirnya, bangsa ini butuh pemimpin yang peka dan rakyat yang dewasa—keduanya saling bercermin. Jika pejabat belajar menata perilaku, dan masyarakat belajar menata amarah, maka perbedaan pendapat tak harus berujung luka. Dari sanalah insyaAllah rasa percaya akan bertumbuh tanpa duka.

Tinggalkan Balasan

Search