Organisasi dalam pandangan Islam adalah wadah ta’awun ‘ala al-birri wa al-taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Māidah [5]: 2:
“Wa ta‘āwanū ‘alal-birri wat-taqwā wa lā ta‘āwanū ‘alal-itsmi wal-‘udwān…”
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…”
Namun, dalam kenyataannya, karakter manusia ketika berorganisasi tidak selalu lurus pada orientasi ibadah. Ada berbagai orientasi yang muncul, baik yang positif maupun negatif.
Karakter Manusia ketika Berorganisasi
Dalam organisasi, manusia menampakkan sifat-sifat dasar mereka. Ada yang tulus berjuang untuk kebaikan bersama, namun ada pula yang terjebak pada ambisi duniawi. Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, karakter dan orientasi kita dalam organisasi akan menentukan nilai amal di sisi Allah.
- Orientasi Jaringan
Sebagian orang berorganisasi demi membangun jaringan relasi untuk memperluas pengaruh atau kepentingan pribadi. Jaringan memang penting untuk dakwah, ekonomi, dan sosial. Namun jika hanya digunakan sebagai alat mencari keuntungan, maka hal ini bisa tergelincir pada sifat duniawi.
Dalam Muhammadiyah, jaringan sejatinya adalah jalan dakwah. Jaringan yang dibangun persyarikatan—baik melalui AUM pendidikan, kesehatan, maupun sosial—ditujukan untuk memperluas manfaat dan menolong sesama, bukan memperkuat kelompok pribadi.
- Orientasi Jabatan
Ada pula yang masuk organisasi dengan tujuan jabatan. Padahal, jabatan dalam Islam adalah amanah, bukan privilege. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya kalian akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal nanti pada hari kiamat ia menjadi penyesalan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah yang adil, dan seburuk-buruknya adalah yang zalim.” (HR. Bukhari).
Di Muhammadiyah, jabatan struktural baik di persyarikatan maupun di AUM tidak boleh dijadikan alat untuk mencari kehormatan diri. Jabatan adalah sarana untuk mengelola amanah jamaah. Karena itu, jabatan di Muhammadiyah seringkali bersifat tanpa gaji dan dikerjakan secara ikhlas—suatu bentuk nyata bahwa jabatan adalah beban amanah, bukan fasilitas.
- Orientasi Kekuasaan
Sebagian karakter manusia cenderung mengejar kekuasaan. Mereka merasa puas ketika memiliki pengaruh untuk mengatur orang lain. Namun kekuasaan tanpa niat ibadah akan menjadi sumber kedzaliman. Allah mengingatkan dalam QS. An-Nisā’ [4]: 58 bahwa amanah harus diberikan kepada yang berhak, dan kekuasaan harus dijalankan dengan adil.
Perbedaan Jabatan dan Kekuasaan dalam Muhammadiyah
Dalam konteks Muhammadiyah:
Jabatan di struktur persyarikatan atau AUM (misalnya kepala sekolah, direktur RS, atau ketua majelis) adalah posisi amanah. Ia diatur dalam AD/ART dan memiliki batas masa jabatan, mekanisme pemilihan, serta tugas yang jelas.
Kekuasaan adalah pengaruh riil yang dimiliki seseorang, bisa melewati batas jabatan. Misalnya tokoh yang tidak punya jabatan formal tetapi didengar oleh jamaah karena ilmunya, kiprahnya, atau keteladanannya.
Di Muhammadiyah, idealnya jabatan dan kekuasaan sama-sama diarahkan untuk amar ma‘ruf nahi munkar. Jabatan hanyalah sarana, kekuasaan hanyalah pengaruh; keduanya tidak boleh menjadi tujuan.
- Orientasi Uang atau Fasilitas
Tidak sedikit yang bergabung dalam organisasi karena ingin mendapatkan fasilitas, uang, atau keuntungan materi. Padahal, jika orientasi semata-mata materi, maka hilanglah nilai jihad dan perjuangan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham…” (HR. Bukhari).
Dalam Muhammadiyah, AUM memang menghasilkan fasilitas—misalnya sekolah yang maju, rumah sakit yang megah, atau usaha ekonomi. Namun fasilitas itu harus dipandang sebagai alat dakwah, bukan warisan pribadi. Jika AUM dianggap sebagai “ladang mencari keuntungan pribadi”, maka telah terjadi penyimpangan dari spirit ikhlas beramal.
- Orientasi Nepotisme
Ada pula karakter yang masuk organisasi karena nepotisme: mendukung kerabat, teman dekat, atau kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan kualitas. Hal ini dilarang dalam Islam, sebab bisa menimbulkan ketidakadilan. Rasulullah ﷺ menolak permintaan jabatan dari keluarga terdekatnya dan bersabda:
“Jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Dalam konteks AUM, nepotisme sering muncul dalam rekrutmen karyawan atau pemilihan pimpinan. Jika hal ini terjadi, maka yang dirugikan adalah kualitas AUM sendiri, karena persyarikatan Muhammadiyah sejatinya dibangun di atas meritokrasi—man yubadhdilu, yughayyirullāhu ḥālahu (siapa yang berusaha memperbaiki, Allah akan ubah nasibnya).
- Orientasi Personal Branding
Sebagian orang berorganisasi hanya untuk membangun citra diri (personal branding). Mereka sibuk tampil, ingin dipuji, ingin dikenal sebagai orang penting.
Dalam Muhammadiyah, kader seharusnya meneladani KH. Ahmad Dahlan yang mengajarkan: “Membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.” Personal branding kader Muhammadiyah bukan untuk “tampil keren”, tetapi untuk menunjukkan teladan amal shalih yang konsisten.
- Orientasi Ibadah
Orientasi yang paling benar dalam berorganisasi adalah ibadah. Artinya, segala aktivitas organisasi diniatkan untuk mencari ridha Allah, memperjuangkan kebaikan umat, menegakkan keadilan, dan memperkuat dakwah.
Dalam Muhammadiyah, segala gerak AUM pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga sosial adalah bentuk ibadah kolektif. Tidak ada AUM yang berdiri untuk memperkaya pribadi. Semuanya dirancang sebagai amal jariyah umat.
- Orientasi Ilmu dan Dakwah
Selain orientasi di atas, ada pula yang berorganisasi dengan tujuan menyebarkan ilmu dan dakwah. Orientasi ini sangat mulia, karena Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad).
Namun, ilmu yang bermanfaat bukan berarti orang berilmu boleh dimanfaatkan. Ada perbedaan antara memberi manfaat secara ikhlas dan dipaksa untuk dimanfaatkan demi kepentingan kelompok atau individu.
Dalam Muhammadiyah, AUM pendidikan dan dakwah melahirkan banyak intelektual dan ulama. Mereka harus dihormati sebagai mitra perjuangan, bukan dijadikan “alat legitimasi” demi ambisi tertentu. Ilmu harus membimbing organisasi, bukan diperalat organisasi untuk kepentingan sesaat.
Organisasi adalah wadah perjuangan. Namun, manusia sering terjebak pada orientasi duniawi: jabatan, kekuasaan, uang, atau personal branding. Dalam Muhammadiyah, semua orientasi itu harus ditundukkan di bawah satu orientasi besar: ibadah, dakwah, dan ilmu yang membawa maslahat bagi umat.
Perlu dipahami bahwa jabatan di Muhammadiyah adalah amanah, sedangkan kekuasaan adalah pengaruh sosial. AUM bukan warisan keluarga, bukan panggung citra, tetapi amanah dakwah. Bila semua kembali pada niat ikhlas, maka persyarikatan ini akan selalu menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal Islami. (*)
