Kasih Sayang Allah untuk Bani Israil: Dua Belas Mata Air yang Menyembur dari Batu Keras

Kasih Sayang Allah untuk Bani Israil: Dua Belas Mata Air yang Menyembur dari Batu Keras
*) Oleh : Dr. Ajang Kusmana
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
www.majelistabligh.id -

Gurun Tih bukan hanya hamparan pasir yang gersang, tetapi juga panggung bagi mukjizat-mukjizat Allah yang menggetarkan jiwa. Setelah manna dan salwa, datanglah ujian lain yang lebih dahsyat: kehausan yang menyiksa. Bayangkan betapa gersangnya gurun itu, dimana lidah menjadi kering, tenggorokan seperti terbakar, dan harapan seakan pupus di antara hamparan pasir yang tak berujung.

Dalam keputusasaan itu, Nabi Musa ‘alaihissalam diperintahkan untuk memukul batu dengan tongkatnya. Lalu, terjadilah keajaiban yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 60:

وَإِذِ ٱسْتَسْقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦ فَقُلْنَا ٱضْرِب بِّعَصَاكَ ٱلْحَجَرَ ۖ فَٱنفَجَرَتْ مِنْهُ ٱثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ مِن رِّزْقِ ٱللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”

Dua belas mata air—sejumlah suku Bani Israil—memancur deras dari bebatuan yang keras dan tak bernyawa. Air itu jernih, segar, dan mengalir dengan cukup untuk memuaskan dahaga seluruh kaum. Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mukjizat ini bukan hanya tentang penyelamatan fisik, tetapi juga tentang pengaturan ilahi yang sempurna. Setiap suku mendapat jalur airnya sendiri, menghindari kecemburuan dan konflik—sebuah pelajaran tentang keadilan dan keteraturan.

Imam Al-Qurthubi menambahkan bahwa batu yang keras itu adalah simbol dari hati manusia yang kadang membeku dalam keluhan dan putus asa. Namun, dengan ketundukan pada perintah Allah, bahkan hal yang paling mustahil pun dapat menjadi sumber kehidupan.

Dari sudut pandang psikologi, Dr. Rick Hanson, seorang ahli neuropsikologi, menyatakan bahwa otak manusia cenderung lebih mudah melihat ancaman daripada harapan—seperti Bani Israil yang lebih fokus pada kehausan daripada kuasa Allah yang mampu memancarkan air dari batu. Inilah yang disebut negativity bias, dimana kita sering mengabaikan kemungkinan mukjizat karena terpaku pada masalah.

Namun, sekali lagi, manusia mudah lupa. Setelah air menyembur deras, setelah dahaga terpuaskan, Bani Israil kembali menunjukkan sikap tidak sabar dan bahkan membuat kerusakan di muka bumi—sebagaimana diingatkan dalam akhir ayat. Mereka melupakan bahwa air yang memancar itu bukan sekadar fenomena alam, tetapi tanda kasih sayang Allah yang tak terbatas.

Di zaman modern, kita mungkin tidak menghadapi gurun Tih yang fisik, tetapi kita menghadapi “gurun” kecemasan, ketidakpastian, dan rasa haus akan makna. Kita sering memandang masalah kita seperti batu yang keras—sesuatu yang tak dapat diubah dan tanpa harapan. Padahal, ayat ini mengajarkan bahwa solusi bisa datang dari sumber yang paling tak terduga, asalkan kita mau memukul “batu” kesulitan kita dengan tongkat ketaatan dan tawakkal.

Dalam kehidupan kita, ‘batu’ itu bisa berupa masalah keuangan yang pelik, hubungan keluarga yang retak, atau kesehatan yang terancam. ‘Memukul batu’ adalah metafora untuk konsisten berikhtiar disertai doa, meski sekeras apapun keadaan.

Kisah ini mengajarkan bahwa terkadang solusi justru datang dari tempat yang paling kita kira tak mungkin—sebuah ide brilian dari diskusi biasa, bantuan tak terduga dari orang yang tak disangka, atau jalan keluar yang tiba-tiba terbuka setelah sekian lama buntu. Yang kita perlukan bukanlah mengharapkan air turun dari langit, tetapi keberanian untuk ‘memukul batu’ dengan keyakinan bahwa Allah sudah menyiapkan mata air solusi di balik setiap kesulitan yang kita hadapi. Wallahu a’lam…

 

Tinggalkan Balasan

Search