Kesombongan itu Adalah Menolak Kebenaran

Kesombongan itu Adalah Menolak Kebenaran
*) Oleh : Husnul Khuluq, M.Pd.
Ketua PRM Sukomulyo & Majlis Tabligh PCM Manyar
www.majelistabligh.id -

Rasulullah SAW pernah memperingatkan tentang sesuatu yang  terasa sangat halus tetapi mematikan yaitu kesombongan. Abdullah bin Mas‘ud RA meriwayatkan, beliau bersabda :
لَا يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمَالَ، الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya terdapat seberat biji atom dari kesombongan.” Seorang lelaki bertanya: “Seseorang senang pakaiannya bagus dan sandalnya bagus.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah indah dan mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”
(HR. Muslim no. 91).

Imam An Nawawi, ulama besar Syafi‘iyyah dan Asy‘ariyyah dalam kitabnya Riyadhus Shalihin, menjelaskan :
وَمَنْ رَدَّ الْحَقَّ وَاسْتَذَلَّ النَّاسَ بِقُوَّتِهِ أَوْ مَنْصِبِهِ أَوْ مَالِهِ فَهُوَ مِنْ هَؤُلَاءِ
“Barangsiapa menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia karena kekuatan, kedudukan, atau harta, maka ia termasuk para sombong yang berhak mendapat ancaman keras.”

Kesombongan bukan terletak pada rapi atau indahnya penampilan, tapi pada rasa “lebih” yang mematikan hati.
Imam al-Ghazali dalam Ihyaa’ ‘Ulumuddin menulis :
أَصْلُ الْكِبْرِ تَعْظِيمُ النَّفْسِ لِشُعُورِهَا بِفَضْلٍ عَلَى غَيْرِهَا. وَالْفَضْلُ يَكُونُ بِالْقُوَّةِ أَوْ بِالْمَالِ أَوْ بِالنَّسَبِ أَوْ بِالْجَمَالِ أَوْ بِالْعِلْمِ. فَإِذَا انْضَمَّ إِلَى ذَلِكَ اسْتِحْقَارُ الْغَيْرِ فَهُوَ الْكِبْرُ الْمَذْمُومُ.
“Asal kesombongan adalah membesarkan diri karena merasa memiliki kelebihan atas orang lain. Kelebihan itu bisa berupa kekuatan, harta, keturunan, kecantikan, atau ilmu. Apabila hal itu disertai meremehkan orang lain, maka itulah kesombongan tercela.”

Di titik ini, kekuatan (quwwah) menjadi salah satu sumber kesombongan yang paling memabukkan, karena langsung berdampak pada tindakan memaksa dan mengontrol orang lain.

Imam Fakhruddin Ar Razi menambahkan dalam tafsirnya yaitu Mafatih Al Ghayb :
الكِبْرُ عَلَى الْمَخْلُوقِ بِمَا أَعْطَاهُ اللَّهُ مِنَ الْقُوَّةِ أَوِ السُّلْطَانِ جَهْلٌ بِحَقِيقَةِ النِّعْمَةِ؛ لِأَنَّ النِّعْمَةَ تَقْتَضِي الشُّكْرَ وَالتَّوَاضُعَ لَا الْفَخْرَ وَالِارْتِفَاعَ.
“Kesombongan terhadap makhluk karena apa yang Allah berikan berupa kekuatan atau kekuasaan adalah kebodohan terhadap hakikat nikmat. Sebab nikmat itu menuntut rasa syukur dan rendah hati, bukan rasa bangga diri dan merasa lebih tinggi.”

Dalam kacamata teologi Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya Asy‘ariyyah Maturidiyyah, manusia hanya memiliki kasb (usaha), sementara kekuatan itu sendiri adalah ciptaan Allah. Menganggapnya sebagai milik mutlak adalah bentuk ghurur, yaitu tertipu oleh sesuatu yang sementara.

Di zaman kita sekarang, kesombongan sudah pintar berkamuflase. Sombong tidak lagi datang dengan wajah garang atau teriakan keras, melainkan dengan senyum ramah dengan susunan kata yang indah dan terkadang berbentuk aturan aturan yang seolah ingin mengatakan kepada orang lain bahwa dirinya yang paling kuat dan paling berhak berkuasa.

Orang yang memaksa kehendak justru mengaku dizalimi. Ini adalah seni lama yang dibungkus dalam kemasan baru, dikenal dalam psikologi sosial sebagai victim-playing, yaitu memutarbalikkan fakta agar publik menganggapnya lemah, padahal ia sedang mengonsolidasikan kekuatan dan kekuasaan yang dahsyat. Bentuk kesombongan berkedok rendah hati ini bukan hanya milik penguasa, orang kaya atau tokoh besar.

Di masyarakat akar rumput, kita sering menjumpai seseorang yang pandai memutarbalikkan cerita. Dia suka berghibah tentang sahabat, rekan, kolega atau saudaranya, menuding orang itu sombong, angkuh, atau merasa lebih hebat. Kepada orang-orang di sekitarnya, dia membangun narasi seolah dirinya korban perlakuan buruk, penuh luka batin, dan hanya ingin diperlakukan dengan hormat. Padahal faktanya, yang dia tuding adalah sasaran kebencian pribadinya sejak lama dan bukan karena sifat buruk yang faktual, tapi karena iri atau sakit hati yang sengaja dipelihara dibenak dia.

Di depan umum, ia menampilkan diri sederhana, rendah hati, lemah, faqir, bahkan pasrah, namun di balik itu ia sedang membangun dukungan untuk mengasingkan orang yang dibencinya dari semua orang.

Budaya ini tumbuh subur di masyarakat karena masyarakat kita sering menilai dari permukaannya saja, sudah jarang orang yang mau berpikir mendalam dan bijak. Kita mengira bahwa kelembutan gaya bicara berarti kebenaran isi bicara.

Padahal sejarah mencatat, Fir‘aun bisa memanggil kaumnya dengan kalimat persuasif :
أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَٰذِهِ ٱلۡأَنۡهَٰرُ تَجۡرِي مِن تَحۡتِيٓۖ (الزخرف: ٥١)
“Bukankah kerajaan Mesir ini milikku, dan sungai-sungai ini mengalir di bawahku?”
Fir’aun tidak berteriak “Aku Tuhanmu!”, tapi merayu dengan “Lihatlah, semua ini untukmu” sambil mengukuhkan kekuasaannya.

Begitu juga para pemegang kekuatan hari ini, memotong aspirasi orang, mengambil keputusan sepihak, memandang rendah pihak yang berseberangan dengan dia, tapi tetap menampilkan citra “humble” dan “gaul” di depan orang orang bahkan di depan kamera.

Jika kita tarik garis sejarahnya, pola ini berulang dari zaman Nabi SAW hingga era saat ini. Abdullah bin Ubay bin Salul di Madinah menampilkan diri sebagai tokoh persatuan dan korban fitnah, padahal ia perancang makar.

Fir‘aun tampil sebagai pelindung rakyat Mesir sambil menindas mereka. Raja-raja kolaborator VOC mengaku terdesak demi rakyat, padahal menyerahkan kedaulatan kepada kompeni. Tokoh kolaborator Jepang di Indonesia tampil merakyat sambil memfasilitasi pengerahan romusha.

Di era modern, beberapa pemimpin Orde Lama dan Orde Baru menampilkan kesederhanaan yang memikat, tapi memonopoli keputusan dan menutup pintu kritik.

Amerika Serikat sebagai negara adidaya kerap menampilkan diri sebagai “penjaga demokrasi” dan “korban ancaman global”, padahal kekuatan militernya digunakan untuk mengontrol ekonomi dan politik dunia sesuai kepentingannya, khususnya menjadi pembela nomor satu terhadap pembantaian terkeji di zaman modern yaitu Gaza.

Allah SWT telah memperingatkan :
كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَىٰ – أَن رَّآهُ اسْتَغْنَى
“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia benar benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al alaq : 6-7).

Kecukupan yang dimaksud bukan sekadar harta, tapi segala bentuk kekuatan yang membuat manusia merasa tak perlu mendengar siapa pun, apalagi tunduk kepada kebenaran. Dan yang paling berbahaya adalah ketika kesombongan itu dibungkus kerendahan hati. Kesombongan bergaya rendah hati itu licin, sulit dibongkar, dan membuat umat terlena.

Kesombongan seperti ini lebih mematikan daripada kesombongan yang terang-terangan, karena ia membius akal sehat publik. Kita akan mengira kita sedang berhadapan dengan seorang pemimpin yang bijak dan sederhana, padahal ia hanya sedang mempermanis racun kuasa.

Rasulullah SAW sudah menegaskan ukuran kesombongan : menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Itulah tolok ukur yang harus kita pegang, bukan penampilan, bukan gestur, bukan narasi yang dibangun oleh panggung media.

Jangan sampai kita menjadi umat yang tertipu oleh kesombongan bersayap rendah hati. Karena di hadapan Allah, ukuran mulia dan hina tidak ditentukan oleh seberapa lembut kata atau senyum kita di depan kamera, tapi oleh sejauh mana kita tunduk kepada kebenaran dan menghormati sesama. Segala kekuatan, sebesar apa pun, hanyalah titipan. Dan titipan selalu menuntut pertanggungjawaban, bukan pembenaran untuk menindas. (*)

Tinggalkan Balasan

Search