Ketika Dai Pun Resah: Pergulatan Batin di Jalan Dakwah

Ketika Dai Pun Resah: Pergulatan Batin di Jalan Dakwah
*) Oleh : Muhammad Al Hafidz, S.Ag
Kader PP Pondok Shobron UM Surakarta
www.majelistabligh.id -

Dalam sunyi malam atau riuh perjalanan siang, seorang dai memikul beban yang tak terlihat oleh mata manusia. Ia membawa amanah besar: menyampaikan ayat-ayat Tuhan sambil menjaga dirinya tetap selaras dengan apa yang ia ucapkan. Keresahan pertamanya lahir dari kesadaran: tidak semua nasihat yang ia sampaikan sudah sempurna ia jalani.
Di keheningan sujudnya ia bertanya,
“Apakah lisanku berlari lebih cepat dari langkahku?”
Ayat Allah seakan menjadi cermin yang tak dapat ia hindari:

أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ
Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat baik, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Ayat itu bukan melemahkan, tetapi mengingatkan bahwa dakwah pertama adalah dakwah kepada diri sendiri.
Keresahan lain muncul dari ketakutan kehilangan keikhlasan. Ketika sorotan panggung dakwah semakin terang, bayang-bayang riya’ bisa datang kapan saja.

Seorang dai bisa tersenyum di hadapan jemaah, tapi di dalam hatinya bertanya:
“Apakah ini karena Allah, atau karena ingin dilihat?”
Ia menundukkan hatinya saat mendengar pujian. Ia menahan dirinya ketika dicaci. Dakwah baginya bukan sekadar kata-kata, tetapi perjalanan panjang menundukkan jiwa.

Dan keresahan paling dalam adalah: takut amal tidak diterima oleh Allah.
Takut ceramah hanya menjadi suara tanpa bobot. Takut tulisannya hanya menjadi tinta yang menguap. Takut ia disebut dai oleh manusia, tetapi tidak dikenal oleh Malaikat sebagai hamba yang ikhlas.

Dalam sepi malam, ia memohon:
“Ya Allah, jadikan setiap kalimatku menjadi peringatan untukku sebelum orang lain.”

Keresahan Dai di Tengah Umat

Keresahan juga lahir dari ekspektasi umat yang kadang terlalu besar. Di hadapan masyarakat, dai dianggap sosok yang selalu siap menjadi jawaban atas segala persoalan. Padahal ia pun manusia. Ia bisa letih, gamang, bahkan rapuh.
Ada saat ia diminta mendamaikan keluarga, sementara rumah tangganya sendiri sedang diuji. Ia harus menenangkan air mata orang lain, padahal ia sendiri menyimpan luka.

Namun ia tetap bertahan, sebab ia memegang janji Allah:
Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Keresahan semakin tajam ketika melihat generasi muda perlahan menjauh dari agama. Di era digital, manusia bahkan lebih percaya konten pendek daripada ilmu yang mendalam.
Majelis ilmu kalah oleh notifikasi, dan ulama kalah terkenal dibanding influencer.

Sang dai bertanya lirih: “Apakah dakwah sudah tidak terdengar?”
Bukan. Dakwah tetap ada, hanya metode yang harus berubah.
Ia bergulat dengan satu pertanyaan besar:
Bagaimana menjaga prinsip tanpa kehilangan kedekatan dengan generasi?

Keresahan lainnya muncul dari perpecahan internal umat. Perbedaan kecil membesar menjadi pertengkaran. Persoalan remeh menjadi sengketa. Dai berdiri di tengah-tengah, mencoba memadamkan api, namun kadang justru ikut terseret derasnya arus perdebatan.

Ia hanya bisa berdoa:
Ya Allah, satukan hati umat ini meski langkah mereka berbeda.”

Namun ia tahu, tugasnya bukan menyatukan semuanya namun tugasnya hanya menyampaikan yang benar. Hidayah tetap milik Allah.

Pada akhirnya, meski dipenuhi keresahan, sang dai tidak pernah berhenti melangkah. Karena di balik kegelisahan itu ada cinta yang besar: cinta kepada umat, cinta kepada kebenaran, dan cinta kepada warisan dakwah para nabi.
Keresahan bukan tanda kelemahan, namun keresahan adalah tanda bahwa hatinya masih hidup. Dan hati yang hidup adalah syarat dari dakwah yang tulus.

Dalam diam ia terus berdoa:
“Ya Allah, kuatkan aku untuk terus menyampaikan meski sering goyah.
Luruskan niatku meski sering melenceng.
Dan jadikan aku dai yang Engkau ridai.”

Pada akhirnya, keresahan seorang dai bukanlah alasan untuk berhenti berdakwah, melainkan bahan bakar untuk terus memperbaiki diri. Kegelisahan itu yang menjaga hatinya tetap lembut, lisannya tetap jujur, dan langkahnya tetap lurus di jalan yang panjang ini. Jika para nabi saja diuji dengan air mata dan kesunyian, maka wajar bila dai hari ini pun merasakan hal serupa.

Dakwah tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kejujuran dalam setiap upaya. Tidak meminta keteguhan tanpa goyah, tetapi kesediaan untuk kembali bangkit ketika terjatuh. Dan di tengah segala keresahan, seorang dai menemukan satu hal yang tidak pernah padam: bahwa Allah selalu cukup menjadi kekuatan.

Maka ia melangkah lagi dengan hati yang mungkin masih bergetar, dengan iman yang terus ia rawat, dan dengan doa yang tak pernah ia lepaskan.

Jadikan suaraku bermanfaat meski diri masih penuh kekurangan.
Dan jadikan setiap keresahanku pengingat bahwa aku hanyalah hamba
yang sangat membutuhkan-Mu dalam setiap hela napas dakwah ini.”

Dengan ketulusan itulah seorang dai terus berjalan, sebab ia yakin:
Selama Allah menjadi tujuannya, maka setiap keresahan akan berubah menjadi kekuatan. (*)

Tinggalkan Balasan

Search