Ketika Murid Mogok, dan Guru Dipermalukan: Dunia Pendidikan Kita Sedang Sakit

Ketika Murid Mogok, dan Guru Dipermalukan: Dunia Pendidikan Kita Sedang Sakit
*) Oleh : Moh.Mas’al,S.HI. M.Ag
Kepsek SMP Al Fattah dan Anggota MTT PDM – Kab Sidoarjo
www.majelistabligh.id -

#The Loss of Adab – Luka Terdalam Dunia Pendidikan

Dunia pendidikan kita sedang mengalami krisis yang jauh lebih parah dari sekadar rendahnya mutu akademik — ia sedang kehilangan ruhnya. Bukan sekadar the loss of knowledge, tapi yang lebih berbahaya adalah the loss of adab, sebagaimana pernah diingatkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas: “The fundamental problem of the Muslim world is the loss of adab.”

Hilangnya adab berarti hilangnya penempatan sesuatu pada tempatnya — guru tidak lagi dimuliakan sebagaimana mestinya, murid tidak lagi mendudukkan dirinya sebagai penuntut ilmu, dan pendidikan tak lagi menumbuhkan kepribadian yang beradab.

Peristiwa memilukan ketika seorang kepala sekolah menampar siswanya yang kepergok merokok, kemudian disambut dengan mogok massal lebih dari 600 siswa, menjadi cermin retak dari wajah pendidikan kita. Reaksi emosional guru memang bisa dikritisi, tetapi reaksi murid dan orang tua yang kehilangan rasa hormat jauh lebih mengkhawatirkan. Karena ketika adab runtuh, seluruh bangunan pendidikan akan roboh.

Adab: Pondasi Ruh Ilmu dalam Islam

Dalam Islam, pendidikan (tarbiyah) tidak sekadar transfer pengetahuan, tetapi pembentukan adab. Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menegaskan:

العِلْمُ بِلَا أَدَبٍ كَالنَّارِ بِلَا حَطَبٍ، وَالأَدَبُ بِلَا عِلْمٍ كَجَسَدٍ بِلَا رُوحٍ

“Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu bagaikan jasad tanpa ruh.”

Oleh sebab itu, ulama dahulu lebih mendahulukan ta’dīb (penanaman adab) daripada ta’līm (pengajaran ilmu). Mereka memahami bahwa keberkahan ilmu tidak akan hadir tanpa kemuliaan adab.

Ibnu al-Mubārak pernah berkata:

كُنَّا نَطْلُبُ الأَدَبَ ثَلَاثِينَ سَنَةً، وَنَطْلُبُ العِلْمَ عِشْرِينَ سَنَةً

“Kami mempelajari adab selama tiga puluh tahun, dan menuntut ilmu selama dua puluh tahun.”

Inilah tradisi emas pendidikan Islam yang kini mulai luntur di tengah arus modernitas dan digitalisasi moral.

Guru dan Murid: Hubungan Ruhani, Bukan Transaksi Duniawi

Dalam pandangan ulama, guru bukan hanya pengajar, melainkan pewaris para nabi. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Maka, kedudukan guru harus dihormati sebagaimana umat menghormati pewaris risalah Nabi. Imam Malik tidak akan berani membaca hadis di hadapan gurunya tanpa izin, sementara Imam asy-Syafi‘i menundukkan pandangan di depan Imam Malik karena rasa takzim.

Sebaliknya, seorang guru juga memikul amanah besar untuk mendidik dengan kasih, bukan dengan amarah. Sebagaimana Umar bin ‘Abd al-‘Aziz mendidik anaknya — beliau mendatangkan seorang guru khusus untuk mengajarkan Al-Qur’an dan akhlak kepada putranya. Namun ketika mendengar sang guru memukul anaknya secara berlebihan, Umar menegurnya dengan lembut:

لَيْسَ هَكَذَا التَّأْدِيبُ، إِنَّمَا التَّأْدِيبُ بِاللُّطْفِ وَالرِّفْقِ

Bukan seperti itu cara mendidik. Sesungguhnya mendidik itu dengan kelembutan dan kasih sayang.

Inilah keseimbangan yang hilang hari ini — murid kehilangan adab, guru kehilangan kesabaran, sementara sistem pendidikan kehilangan ruhnya.

Menata Kembali Pendidikan Beradab

Pendidikan Islam tidak akan sehat tanpa adab. Ia bukan sekadar tentang pengetahuan, tetapi pembentukan jiwa. Maka, setiap institusi pendidikan perlu menghidupkan kembali ruh ta’dīb: penghormatan terhadap guru, kelembutan dalam mendidik, dan kesadaran bahwa ilmu adalah cahaya yang hanya turun ke hati yang bersih.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik:

لاَ يَصْلُحُ طَلَبُ الْعِلْمِ إِلَّا بِأَدَبٍ وَتَوَقِيرٍ

Tidak layak seseorang menuntut ilmu kecuali dengan adab dan penghormatan.”

Maka solusi atas krisis ini bukan sekadar revisi kurikulum, tetapi revolusi adab — agar guru kembali dimuliakan, murid kembali beradab, dan ilmu kembali menjadi cahaya, bukan sekadar informasi. (*)

 

Referensi:

  1. Al-Ghazali, Iyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 1, Beirut: Dār al-Fikr.
  2. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
  3. Ibn al-Mubarak, Kitāb al-Zuhd wa al-Raqā’iq, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  4. Ibn Abd al-Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Falih, juz 1.
  5. Al-Dhahabi, Siyar A‘lām al-Nubalā, Dār al-Risālah.
  6. Abu Dawud & Tirmidzi, Sunan, Bāb Fī Fal al-‘Ulamā.

 

Tinggalkan Balasan

Search