Ketika Musibah Menjadi Jalan Pendidikan Iman

Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag (Rektor UIN Sumatra Utara Medan)
*) Oleh : Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag.
Rektor UIN Sumatra Utara Medan
www.majelistabligh.id -

Musibah banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan hanya sekadar peristiwa alam, melainkan ujian keimanan yang mengetuk nurani bersama. Di balik derasnya air dan runtuhnya tanah, tersimpan duka mendalam yang dirasakan masyarakat luas, kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, bahkan harapan. Di antara mereka terdapat ribuan mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan sebagai ikhtiar masa depan.

Tercatat sebanyak 11.772 mahasiswa dari Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) terdampak langsung dan membutuhkan bantuan agar dapat melanjutkan studi mereka. Dari jumlah tersebut, 1.417 mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatra Utara (UINSU) Medan turut merasakan dampak yang tidak ringan. Situasi ini menegaskan bahwa bencana tidak hanya merusak infrastruktur fisik, tetapi juga mengancam keberlanjutan pendidikan dan mobilitas sosial generasi muda.

Dalam konteks inilah, kehadiran negara menjadi penting. Penyaluran bantuan tanggap darurat pendidikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., kepada mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri dan Swasta menunjukkan bahwa krisis tidak boleh menghentikan masa depan generasi muda.

Dalam momentum penyaluran bantuan tersebut, Menteri Agama tidak hanya menyerahkan bantuan material dengan total nilai mencapai Rp2,35 miliar, tetapi juga menyampaikan pesan yang menyejukkan: “Jangan takut dengan musibah. Ini adalah ujian dari Allah SWT agar kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan naik ke derajat yang lebih tinggi”.

Bantuan tersebut diberikan sebagai bentuk respons cepat Kementerian Agama dalam menjaga keberlangsungan proses pendidikan tinggi di wilayah terdampak bencana. Program ini bermakna bukan hanya sebagai bantuan material, tetapi juga sebagai manifestasi nilai ta’awun (saling menolong) dan ukhuwah dalam kehidupan berbangsa. Kehadiran negara dalam bingkai kepedulian ini mencerminkan ajaran Islam yang menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan umat dan penanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya.

Dalam perspektif Islam, musibah bukanlah tanda kebencian Allah, melainkan sarana pendidikan ruhani untuk meninggikan derajat hamba-Nya. Allah Swt berfirman: “Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 155).

Ayat ini menjadi pengingat bahwa setiap ujian selalu disertai janji pertolongan dan kemuliaan bagi mereka yang bertahan dengan kesabaran dan keimanan. Musibah bukan tanda kebencian Allah, melainkan mekanisme Ilahi untuk menguji kesabaran, keteguhan, dan ketulusan iman hamba-Nya. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak memulai ayat ini dengan ancaman, melainkan dengan janji “kabar gembira” bagi mereka yang mampu bersabar.

Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa “setiap kelelahan, kesedihan, bahkan duri yang menusuk seorang Muslim, menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini memberi makna baru pada musibah: ia bukan semata beban, tetapi juga sarana penyucian spiritual. Penderitaan yang dihadapi dengan iman dapat mengangkat derajat manusia di sisi Allah. Dengan demikian, ketika seorang Muslim mampu menghadapi ujian dengan iman dan keteguhan, maka penderitaan berubah menjadi jalan pendakian spiritual. Ia tidak hanya melatih ketahanan diri, tetapi juga menumbuhkan kedewasaan ruhani, kerendahan hati, dan kedekatan kepada Allah.

Selanjutnya, Musibah dalam perspektif Al-Qur’an juga berfungsi sebagai sarana muhasabah dan peringatan ilahiah agar manusia kembali menata arah kehidupannya. Allah Swt menegaskan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41).

Ayat ini menegaskan bahwa banyak bencana berakar pada krisis etika dalam arti keserakahan, ketidakadilan, dan eksploitasi terhadap keseimbangan lingkungan. Musibah, dalam konteks ini, adalah alarm moral untuk memperbaiki relasi manusia dengan alam dan sesama.

Sejalan dengan pesan Qur’an tersebut, Kementerian Agama menggagas program ekoteologi sebagai upaya menanamkan kesadaran ekologis berbasis nilai-nilai keagamaan, yang menempatkan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga kelestarian ciptaan Tuhan. Program ini menegaskan bahwa kepedulian terhadap lingkungan bukan semata isu teknis, melainkan bagian integral dari pengamalan iman.

Ulama kontemporer seperti Quraish Shihab menegaskan bahwa musibah harus dibaca secara proporsional. Tidak semua musibah adalah hukuman, dan tidak semua kenikmatan adalah tanda keridaan Tuhan. Yang menentukan nilai sebuah peristiwa adalah bagaimana manusia meresponsnya, apakah dengan keputusasaan, atau dengan kesadaran dan ikhtiar untuk menjadi lebih baik.

Pada titik inilah musibah menemukan makna terdalamnya. Ia bisa menjadi jalan menuju kemuliaan akhirat. Hal ini mengandung makna bahwa musibah tidak semata dipahami sebagai penderitaan, melainkan sebagai sarana pendidikan ruhani yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya. Pada saat seseorang menghadapi musibah dengan iman, kesabaran, dan keteguhan hati, musibah tersebut menjadi sebab diangkatnya derajat di sisi Allah. Dengan kata lain, penderitaan yang dialami di dunia dapat bertransformasi menjadi kemuliaan di akhirat berupa penghapusan dosa, peningkatan pahala, dan kedudukan yang lebih tinggi di surga.

Lebih jauh, kemuliaan akhirat yang dijanjikan melalui musibah bukanlah sesuatu yang instan, melainkan hasil dari respon spiritual manusia terhadap ujian tersebut. Musibah yang dilalui dengan keluh kesah dan keputusasaan akan kehilangan makna transendennya. Sebaliknya, musibah yang dihadapi dengan sabar, tawakal, dan tetap berbuat kebaikan menjadi tangga menuju kemuliaan abadi, sebagaimana janji Allah kepada orang-orang yang bersabar.

Pada akhirnya, ketika musibah dihadapi dengan iman dan ikhtiar kolektif, penderitaan tidak berhenti sebagai luka, melainkan bertransformasi menjadi kekuatan moral dan sosial. Solidaritas, kepedulian, dan kehadiran negara dalam melindungi yang terdampak menjadi wujud nyata nilai-nilai keislaman dalam kehidupan berbangsa.

Melihat musibah dari perspektif Qur’ani menuntut perubahan cara pandang. Musibah tidak cukup ditangisi, tetapi harus dijadikan momentum untuk memperkuat empati, solidaritas sosial, dan tanggung jawab kolektif. Kesabaran dalam Islam bukan sikap pasrah tanpa usaha, melainkan energi moral untuk bangkit dan memperbaiki keadaan. Dengan cara inilah, musibah tidak menjadi akhir dari harapan, tetapi awal dari kebangkitan menuju kemuliaan dunia dan akhirat. (*/kemenag)

Tinggalkan Balasan

Search