Ketika Nasab Tak Lagi Berarti: Hanya Amal yang Menentukan Derajat di Sisi Allah

Ketika Nasab Tak Lagi Berarti: Hanya Amal yang Menentukan Derajat di Sisi Allah
*) Oleh : Moh. Mas’al, S.HI, M.Ag
Kepsek SMP Al Fattah dan Anggota MTT PDM Kab. Sidoarjo
www.majelistabligh.id -

Dalam masyarakat, kemuliaan sering diukur dari keturunan dan garis darah. Gelar “keturunan ulama”, “dzurriyah Rasul”, atau “anak kiai besar” kerap dianggap jaminan kemuliaan. Namun, Islam agama yang dibangun di atas tauhid dan amal saleh — justru menolak semua bentuk kebanggaan yang bersandar pada nasab semata.

Nasab bisa menjadi kehormatan lahiriah, tetapi tidak bisa menggantikan amal dalam menentukan derajat di sisi Allah.

Dalil-dalil Al-Qur’an: Setiap Jiwa Dibalas Menurut Amal

Allah menegaskan dalam banyak ayat bahwa kemuliaan seseorang diukur dari amalnya, bukan keturunannya. Dalam Surah al-An‘ām [6]:132 Allah berfirman:

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Dan bagi masing-masing mereka ada tingkatan-tingkatan (balasan) sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-An‘ām: 132)

Demikian pula dalam Surah al-Aḥqāf [46]:19:

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan bagi masing-masing mereka ada derajat-derajat (balasan) sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah menyempurnakan kepada mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka, sedang mereka tidak dirugikan.”

Dan dalam Surah al-Mu’minūn [23]:101 Allah meniadakan ikatan nasab di akhirat:

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

“Maka apabila sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak (pula) mereka saling bertanya-tanya.”

Ayat ini menggambarkan keadaan hari kiamat ketika semua hubungan duniawi — termasuk nasab — terputus. Yang tersisa hanyalah amal.

Hadits-Hadits tentang Nasab dan Amal

Rasulullah bersabda:

مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barang siapa yang amalnya lamban, maka nasabnya tidak akan mempercepat (mengangkat) derajatnya.” (HR. Muslim, no. 2699)

Hadis ini menegaskan bahwa amal adalah ukuran tunggal kemuliaan di sisi Allah. Keturunan tidak bisa menjadi alasan seseorang memperoleh derajat tinggi tanpa amal.

Rasulullah juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Albani:

لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِأَعْجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, tidak pula orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula yang berkulit merah atas yang hitam, dan tidak pula yang hitam atas yang merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad, 23489; dinyatakan hasan oleh al-Albani)

Hadis ini adalah deklarasi kesetaraan manusia di hadapan Allah. Perbedaan nasab, ras, dan warna kulit hanyalah ujian duniawi  bukan faktor penentu di akhirat.

Pandangan Ulama tentang Nasab dan Amal

Imam al-Nawawī رحمه الله menjelaskan makna hadits “من بطأ به عمله لم يسرع به نسبهdalam Syarḥ Muslim:

المُرَادُ أَنَّ النَّسَبَ الشَّرِيفَ لَا يُوصِلُ إِلَى الدَّرَجَاتِ الْعَالِيَةِ، وَإِنَّمَا يُوصِلُهَا الْعَمَلُ الصَّالِحُ

Yang dimaksud adalah bahwa kemuliaan nasab tidak akan menyampaikan seseorang kepada derajat yang tinggi; yang menyampaikannya hanyalah amal saleh.” (Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, 16/219)

Imam Ibn al-Qayyim رحمه الله menulis dalam al-Fawā’id:

إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ جَعَلَ الْفَضْلَ فِي التَّقْوَى لَا فِي النَّسَبِ، وَالْكَرَامَةَ فِي الطَّاعَةِ لَا فِي الْأَصْلِ

“Sesungguhnya Allah menjadikan keutamaan itu pada ketakwaan, bukan pada nasab; dan kemuliaan itu pada ketaatan, bukan pada asal-usul.

Sementara Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menegaskan:

فَكَمْ مِنْ حَسَبٍ نَافِعٍ فِي الدُّنْيَا لَا يُغْنِي عَنْ صَاحِبِهِ شَيْئًا فِي الْآخِرَةِ، وَكَمْ مِنْ مَوْلًى مَهِينٍ فِي النَّاسِ هُوَ عِنْدَ اللَّهِ كَرِيمٌ

Betapa banyak nasab yang bermanfaat di dunia, namun tidak berguna di akhirat. Dan betapa banyak orang yang hina di mata manusia, tetapi mulia di sisi Allah.”

Refleksi: Nasab Adalah Amanah, Bukan Jaminan

Keturunan mulia adalah nikmat dan tanggung jawab. Ia menjadi amanah moral untuk menjaga kehormatan leluhur dengan amal yang baik, bukan untuk disombongkan. Bahkan putra Nabi Nūعليه السلام tidak selamat karena kufurnya, sebagaimana firman Allah:

إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

“Sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu, karena sesungguhnya perbuatannya bukan perbuatan yang saleh.” (QS. Hūd: 46)

Ini menjadi pelajaran bahwa nasab tanpa amal adalah kehampaan. Keturunan para nabi pun tidak berguna tanpa iman dan ketaatan.

Kemuliaan sejati tidak diwariskan, melainkan diperjuangkan. Nasab hanya membuka pintu kesempatan untuk meneladani kebaikan leluhur, bukan tiket menuju surga. Karena pada akhirnya, Allah tidak melihat nasab atau rupa, tetapi melihat amal dan hati.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. al-Ḥujurāt: 13)

 

Daftar Rujukan:

  • Al-Qur’an al-Karīm, QS. al-An‘ām: 132; al-Aḥqāf: 19; al-Mu’minūn: 101; al-Ḥujurāt: 13; Hūd: 46.
  • Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 2699.
  • Ahmad bin Ḥanbal, Musnad Ahmad, no. 23489.
  • al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, 16/219.
  • Ibn al-Qayyim, al-Fawā’id, hlm. 45.
  • al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Jilid 3, hlm. 89.

 

 

Tinggalkan Balasan

Search