Hijrah tidak selalu tentang berpindah tempat. Kadang hijrah adalah perjalanan sunyi dari keterbatasan menuju keberkahan, dari ketidakmampuan menuju kemandirian, dan dari sekadar bertahan hidup menuju memberi manfaat bagi banyak orang.
Itulah hijrah ekonomi yang dijalani oleh H. Sutrimo, pengusaha Kacang Atom merek “Gangsar” asal Kabupaten Tulungagung, saat berbagi kisah bersama peserta Akademi Mubaligh Muhammadiyah (AMM) Zona Jayabaya dan Kediri Raya, di Tulungagung, Sabtu (13/12/2025).
Pada usianya yang sudah menginjak 73 tahun, H. Sutrimo bukan sekadar bercerita tentang sukses, tetapi tentang proses panjang, kesabaran, dan nilai hidup. Kisahnya bermula sejak usia 13 tahun, beliau bekerja dengan gaji Rp 2.500. Jumlah yang saat itu sebenarnya cukup untuk membeli seporsi nasi lodeh lengkap dengan tahu, tempe, dan kerupuk.
Namun pilihan hidupnya berbeda. Beliau memilih membeli nasi seharga Rp 1.500, tanpa lauk, dan Rp 1.000, sisanya ditabung. Keputusan kecil, tetapi konsisten. Dari situlah hijrah ekonomi dimulai, dari pengendalian diri, dari mendahulukan masa depan dibanding kenikmatan sesaat.
Tabungan itu kemudian dipinjamkan sebagai modal bertani, dan setiap musim panen beliau memperoleh bagian padi. Hasilnya tidak dihabiskan, tetapi diolah kembali menjadi aset: pedhet (anak sapi). Dari satu menjadi dua, lalu dijual untuk membangun usaha tahu dengan modal sekitar Rp 420.000.
Ketika usaha tahu menghadapi kendala karena produk tidak tahan lama, beliau tidak berhenti. Ia beralih, berinovasi, dan memilih usaha sanghai, sebuah keputusan strategis yang kelak mengubah hidupnya. Namun, seperti hukum alam usaha, pasang surut tak terelakkan.
Tahun 1997 menjadi ujian terberat. Usahanya bangkrut, padahal saat itu memiliki sekitar 1.000 karyawan. Di titik itulah banyak orang akan menyerah. Tetapi beliau bersyukur, “Alhamdulillah, saya tidak punya utang. Saya punya aset.”
Dari situlah beliau bangkit kembali, membuktikan bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari proses hijrah. Belajar dari kegagalan itulah, pesan sederhana namun mendalam ia ungkapkan, “Berapapun penghasilan yang didapatkan, harus disisihkan untuk menabung.”
Bukan soal besar kecilnya angka, tetapi soal disiplin, visi, dan keberkahan. Kisah H. Sutrimo menjadi cermin bagi para peserta AMM dari Tulungagung, Trenggalek, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten dan Kota Blitar. Bahwa dakwah tidak hanya lewat mimbar, tetapi juga lewat keteladanan hidup, kerja keras, kejujuran, dan kemandirian ekonomi.
Inilah makna hijrah ekonomi:
- Bergerak dari kekurangan menuju kecukupan,
- Dari ketergantungan menuju kemandirian,
- Dari sekadar mencari hidup menuju memberi kehidupan.
Semoga kisah ini menyalakan keyakinan bahwa usaha yang disertai nilai, kesabaran, dan iman, pada akhirnya akan berujung pada keberkahan. Amin. (*)
