Kisah Tali Sumur dan Bebasnya Nafi’ bin al-Harits

Kisah Tali Sumur dan Bebasnya Nafi’ bin al-Harits
*) Oleh : Dr. Ajang Kusmana
Pengajar Mata Kuliah AIK UMM
www.majelistabligh.id -

Di antara kisah-kisah para sahabat Nabi yang penuh keberanian, ada sebuah cerita yang sederhana namun mengguncang perjalanan hidup seorang lelaki bernama Nafi’ bin al-Harits — lelaki yang kemudian dikenang sebagai Abu Bakrah, “Ayah dari Tali Sumur”.

Pada tahun 8 Hijriyah, ketika benteng Thaif dikepung dalam Perang Thaif, kota itu berdiri angkuh dengan dindingnya yang tinggi. Di baliknya, para tawanan dan budak berada dalam kecemasan. Di antara mereka adalah Nafi’, seorang budak dari suku Tsaqif. Ia menyaksikan cahaya Islam mulai memasuki jazirah, tetapi dirinya terpasung dalam benteng kaum yang menolak kebenaran.

Pada suatu malam yang penuh ketegangan, ketika panah-panah kaum Thaif beterbangan dari atas dinding, Nafi’ mengambil keputusan yang mengubah seluruh helaan napas hidupnya. Ia menemukan sebuah bakrah — tali sumur yang biasa digunakan untuk menimba air. Dengan keberanian yang lahir dari harapan, ia melilitkan tali itu pada sebuah tiang dan mulai menuruni dinding benteng.

Bayangan gelap malam menjadi saksi tubuhnya yang merosot perlahan. Setiap gesekan telapak tangan pada tali membawa doa dan tekad. Jika ia gagal, kematian menantinya di dasar jurang. Jika ia selamat, ia berharap menemukan seorang manusia yang sedang memanggil dunia menuju kebenaran: Rasulullah ﷺ.

Ketika kakinya menyentuh tanah, ia berlari sekuat tenaga menuju pasukan kaum muslimin. Nafasnya terengah, jantungnya berdentam, namun hatinya penuh cahaya. Ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata ingin masuk Islam — dan ingin merdeka.

Beliau ﷺ menatapnya dengan kasih, lalu memerdekakannya. Sejak hari itu, hidup Nafi’ berubah. Tidak lagi sebagai budak Tsaqif, tetapi sebagai Abu Bakrah, lelaki yang turun dari benteng dengan bakrah — tali yang menjadi saksi pembebasannya.

Kaum Tsaqif yang mengetahui kaburnya Nafi’ datang kepada Rasulullah ﷺ dan meminta agar ia dikembalikan sebagai budak mereka. Namun Nabi ﷺ bersabda tegas:

Tidak. Dia telah dimerdekakan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Itulah hari ketika seutas tali menjadi perantara dua kebebasan: kebebasan tubuh, dan kebebasan hati dari kegelapan masa lalu.

Sepanjang hidupnya, Abu Bakrah tak pernah melupakan momen itu. Ia berkata,
Aku adalah Abu Bakrah, mantan budak Rasulullah. Jika mereka enggan menyebutku begitu, maka akulah Nafi’ bin Masruh.”

Tali sumur itu bukan lagi sekadar alat. Ia menjadi kenangan, menjadi nama, menjadi kehormatan.

Abu Bakrah hidup sebagai seorang sahabat Nabi yang penuh hikmah, tegas dalam amar makruf nahi mungkar, dan rendah hati dalam memandang dunia. Hingga akhir hayatnya di Basrah, tahun 50 atau 51 Hijriyah, namanya dikenang sebagai lelaki yang memilih keberanian — dan diselamatkan oleh seutas tali yang sederhana.

Tetapi bukankah begitu cara Allah menulis takdir?
Melalui hal-hal yang tampak kecil, namun mengubah kehidupan selamanya. (*)

Tinggalkan Balasan

Search