Konflik Abadi Falak dan Fikih: Mengapa Kalender Islam Tunggal Sulit Terwujud?

Konflik Abadi Falak dan Fikih: Mengapa Kalender Islam Tunggal Sulit Terwujud?
*) Oleh : Amirul Muslihin
Anggota Divisi Hisab dan Falak MTT PWM Jatim & Anggota TIM Pengembangan Perangkat Lunak KHGT MTT PP Muhammadiyah  
www.majelistabligh.id -

Mu’tamar Tawḥīd at-Taqwīm al-Hijrī al-Muwaḥḥad (Kongres Internasional Penyatuan Kalender Hijriah) yang diselenggarakan selama tiga hari sejak hari Sabtu hingga Senin 21-23 Syakban 1437 H (28-30 Mei 2016 M) di kota Istanbul Turki menjadi wadah penting bagi para pakar fikih dan astronomi dari berbagai penjuru dunia. Mereka membahas “Proyek Kalender Unifikasi” (kalender tunggal), yang dipresentasikan oleh Prof. Dr. Jalaluddin Khanji, Anggota Komisi Ilmiah Mu’tamar Tawḥīd at-Taqwīm al-Hijrī al-Muwaḥḥad.

Dalam sesi diskusi yang dipimpin oleh Ketua Sidang, Prof. Dr. ʿAlī Muhyiddīn al-Qarahdāghī, kesempatan diberikan kepada 24 pakar untuk memberikan tanggapan dan masukan. Salah satu tanggapan kritis dan mendalam datang dari “Ustaz Amin al-Hazmī”, yang mewakili Asosiasi Islam Italia untuk Imam dan Pembimbing di Eropa, sekaligus anggota Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian.

Ustadz Amin al-Hazmī menyoroti secara tajam bahwa hambatan utama menuju kalender tunggal bukan hanya terletak pada data ilmiah, tetapi pada “cara kedua belah pihak ahli falak (astronom) dan fuqaha (ahli fikih) berinteraksi dengan ilmu dan masyarakat”.

Analisis Kritik Ustaz Amin al-Hazmi

Masukan Ustaz Amin al-Hazmī berfokus pada kritik terhadap bagaimana informasi ilmiah dan pandangan fikih disajikan, yang pada akhirnya memperkeruh suasana persatuan umat.

  1. Kritik Terhadap Ahli Falak: Memecah Data Geografis

Meskipun memuji para ahli falak sebagai pihak yang berkecimpung dalam “ilmu yang paling teliti dan mendalam”, Ustaz Amin al-Hazmī menyatakan bahwa sayangnya mereka “juga menjadi bagian besar dari permasalahan”.

Penyebab utamanya adalah ahli falak “telah menyerupai para fuqaha” dalam kebiasaan mereka, di mana “setiap ahli falak memiliki pemahaman dan pandangan tersendiri bagi negerinya”.

Baca juga: KHGT, Masalah Atau Solusi?

Implikasi dari praktik ini adalah penyebaran informasi yang berbeda di media, seperti pernyataan, “Berpuasalah bersama perhitungan falak ini,” sementara yang lain mengatakan, “Berpuasalah sehari setelahnya,” berdasarkan perhitungan falak lainnya.

Perbedaan ini muncul karena mereka menyampaikan data yang sama, tetapi dengan “batas geografis tertentu”, seolah-olah praktik rukyat atau hisab bergantung pada batas-batas tersebut. Menurut Ustaz al-Hazmī, ini menyebabkan ulama dan masyarakat bingung, dan seharusnya informasi disajikan secara utuh, meskipun hilal mungkin terlihat di negara lain.

  1. Kritik Terhadap Fuqaha: Menghidupkan Gerakan Ateisme

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh sebagian ahli fikih (fuqaha) adalah pengulangan ucapan yang meremehkan ilmu falak. Ungkapan yang sering diulang adalah: “Bahkan para ahli falak pun berbeda pendapat” atau “Perhitungan itu bersifat dugaan (zhanni) dan hasilnya mungkin tidak pasti”.

Menurut Ustaz al-Hazmī, frasa-frasa tersebut tidak sepantasnya diucapkan atau diulang oleh seorang ahli fikih. Pernyataan semacam ini berpotensi “menimbulkan atau menghidupkan kembali gerakan-gerakan ateisme”. Khususnya di Eropa, dan kini di dunia Arab serta Islam melalui media sosial, ungkapan tersebut menjadi “ejekan besar terhadap para ulama dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri”.

Meskipun Ustaz al-Hazmī mengakui adanya akar perbedaan fikih yang diakui, ia menegaskan bahwa fuqaha tidak seharusnya “menciptakan dan mengulang-ulang kata-kata” yang memperkeruh suasana.

  1.  Visi Persatuan dan Kritik Spasial

Dalam konteks mencapai Kalender Unifikasi, Ustaz al-Hazmī memilih akibat yang mengarah pada “persatuan umat”, dan ia berharap kerja untuk mencapai tujuan tersebut “harus dimulai dari sekarang”, meskipun baru terwujud dua puluh tahun lagi.

Ia mengkritik fuqaha di negeri-negeri Arab dan Islam yang “masih berdebat tentang batas-batas wilayah kalender” dan membatasi diri pada batas-batas tersebut. Contoh konkret dari masalah ini terlihat dari pemisahan wilayah. Ia menyebutkan kasus “Sudan dan Sudan Selatan”: dahulu memiliki satu wilayah rukyat, kini terpecah menjadi dua pandangan fikih yang berbeda.

Oleh karena itu, Ustaz al-Hazmī menegaskan bahwa umat harus disatukan kembali melalui para elit, pemimpin, cendekiawan, ulama, dan fuqaha-nya untuk “menyatukan kalender Hijriah secara astronomis”. Tujuannya adalah untuk “mempersiapkan umat untuk bertemu dalam satu sistem kalender bersama di masa depan”.

Kesimpulan Ketua Sidang: Akar Masalah pada Standar Syar’i

Menanggapi masukan tersebut, Ketua Sidang, Prof. Dr. ʿAlī Muhyiddīn al-Qarahdāghī, memberikan kesimpulan penting yang membenarkan pandangan Ustaz al-Hazmī, namun menempatkan beban utama masalah pada ahli fikih.

Prof. Qarahdāghī menceritakan diskusi dengan Ustaz Muḥammad ‘Awdah, yang menyatakan: “Wahai saudaraku, berikan kepada kami standar syar’i (kriteria agama), maka aku akan berikan kepadamu fatwa astronomis”.

Prof. Qarahdāghī menjelaskan bahwa hasil astronomi akan berbeda tergantung pada standar fikih yang ditetapkan, misalnya, apakah perbedaan mathla(wilayah rukyat) diperhitungkan atau tidak, atau apakah acuan yang digunakan adalah ijtimak (konjungsi) atau ru`yah hakikiyah (penglihatan aktual).

Oleh karena itu, Ketua Sidang menyimpulkan bahwa “perbedaan di antara para ahli falak sebenarnya muncul karena perbedaan para fuqaha. Seandainya para fuqaha telah sepakat pada satu standar syar’i yang sama, niscaya mereka (ahli falak) pun tidak akan berbeda pendapat”.

Masukan dari Muktamar Turkiye 2016 ini menegaskan bahwa langkah menuju Kalender Unifikasi harus dimulai dengan kesepakatan dasar fikih. Para elit dan ulama “bertanggung jawab di hadapan Allah” atas persatuan umat. Langkah konkret harus diambil untuk “memulai dan mempersiapkan umat” menuju satu sistem kalender bersama.

Wa Allahu A’lam bi al-Sawāb. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search