Setiap kali kita membaca berita tentang korupsi triliunan rupiah, ada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan — antara marah, kecewa, dan lelah. Di negeri yang masih banyak anak sekolah berjalan kaki tanpa sepatu, angka Rp13 triliun bukan sekadar kerugian negara. Ia adalah simbol dari hati yang kehilangan rasa cukup, kehilangan malu, dan kehilangan arah.
Dari kacamata psikologi, tindakan korupsi seringkali muncul bukan karena kebutuhan, tetapi karena distorsi moral: otak manusia mampu menciptakan pembenaran logis bagi hal yang jelas-jelas salah.
Pelaku korupsi, dalam banyak studi, mengalami yang disebut moral disengagement — kemampuan untuk memutus hubungan antara tindakan dan rasa bersalah. Saat hati sudah terbiasa menipu diri sendiri, kepekaan nurani perlahan mati. Lama-kelamaan, perilaku menipu bukan lagi terasa berdosa, tapi seperti “strategi bertahan hidup”.
Kita bisa lihat pola yang sama di masyarakat: dari pungli kecil di jalan hingga permainan angka di atas meja. Semua dimulai dari pembenaran kecil: “semua orang juga begitu”. Padahal di situlah titik awal kehancuran moral terjadi.
Al-Qur’an sudah memperingatkan bahaya hati yang keras. “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14).
Dalam hadis, Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging; jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Itulah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).
Korupsi sebesar apapun selalu berawal dari rusaknya segumpal hati ini — bukan dari banyaknya peluang, tapi dari lemahnya iman dan rasa malu.
Dalam psikologi, ada istilah greed trap — perangkap keserakahan. Ketika seseorang berhasil mendapatkan sesuatu dengan cara tidak benar dan tidak ketahuan, otaknya memproduksi dopamin, hormon kenikmatan. Sensasi itu membuatnya ingin mengulang, bahkan dalam skala yang lebih besar.
Di titik inilah agama memberi benteng: bukan dengan hukuman semata, tapi dengan kesadaran. Iman dan rasa syukur menjadi rem alami yang menahan manusia dari godaan yang tak ada ujungnya. Karena sesungguhnya, bukan kekurangan yang membuat manusia tamak, tapi jiwa yang tak pernah merasa cukup.
Akhirnya, kasus Rp13 triliun ini bukan sekadar catatan kriminal atau ekonomi. Ini cermin besar yang memantulkan wajah bangsa: apakah kita masih punya keberanian untuk jujur, meski dunia seolah membenarkan kebohongan?
Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan sekecil apa pun akan dihisab. Jika kita mulai lagi dari hal-hal sederhana — tidak menipu, tidak mengambil yang bukan hak, dan berani menolak godaan kecil — mungkin angka triliunan itu tak akan pernah muncul lagi di berita. Karena bangsa yang sehat bukan diukur dari seberapa banyak uang dikembalikan, tapi dari seberapa kuat iman warganya menolak untuk tergoda. (*)
