Majelis Tarjih Muhammadiyah Bahas Status Halal Bumbu Jepang, Soroti Pentingnya Fikih Minoritas

Majelis Tarjih Muhammadiyah Bahas Status Halal Bumbu Jepang, Soroti Pentingnya Fikih Minoritas

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar halaqah bertajuk “Status Halal-Haram Bumbu Masak Tradisional Jepang” di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Jumat (24/1/2025).

Forum ini digelar untuk menjawab permintaan fatwa dari Nurchasanah Satomi Ogata, warga Jepang, terkait kandungan alkohol dalam bumbu masak tradisional yang kerap digunakan oleh komunitas Muslim di sana.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Hamim Ilyas, dalam sambutannya menekankan bahwa Muhammadiyah selalu menerapkan pendekatan inklusif dan berbasis keilmuan dalam setiap keputusan fatwa.

“Setiap fatwa yang dikeluarkan Muhammadiyah didasarkan pada pengkajian mendalam yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, baik dari internal maupun eksternal organisasi,” ujarnya.

Halaqah ini dibagi menjadi tiga sesi diskusi utama.

  1. Sesi I: Alkohol dalam Perspektif Fikih, Kesehatan, dan Farmasi
    Sesi ini menghadirkan dua narasumber, yakni Ariffudin dari Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih Muhammadiyah serta Nina Salamah dari Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan. Diskusi berfokus pada tinjauan fikih, dampak kesehatan, dan aspek farmasi terkait penggunaan alkohol dalam bumbu masak.
  2. Sesi II: Prinsip Kehalalan dalam Fikih Minoritas
    Narasumber M. Rofiq Muzakkir membahas Ḍawabiṭ (prinsip) kehalalan makanan menurut fikih minoritas, sementara Nurchasanah Satomi Ogata memberikan wawasan tentang fermentasi dalam bumbu tradisional Jepang. Sesi ini menggali bagaimana fikih minoritas memperhatikan konteks sosial dan budaya umat Islam di negara-negara non-Muslim.
  3. Sesi III: Standar Halal di Negara dengan Populasi Muslim Minoritas
    Dalam sesi ini, Elvina Agustin Rahayu dari LPHKHT PP Muhammadiyah dan Dyah Robi’ah Al Adawiyyah dari PCIA Australia memaparkan strategi penerapan standar halal di negara dengan populasi Muslim minoritas.

Hamim Ilyas menekankan pentingnya pendekatan fikih minoritas, yang mempertimbangkan kondisi khusus umat Islam di wilayah dengan struktur sosial dan ekonomi yang berbeda.

“Prinsip fikih mayoritas yang berlaku di negara Muslim sering kali sulit diterapkan di negara seperti Jepang. Karena itu, fikih minoritas menjadi pendekatan yang lebih relevan,” jelasnya.

Pendekatan fikih minoritas, yang mulai berkembang pada 1990-an atas gagasan Yusuf Qardlawi, mengutamakan pentahapan penerapan hukum dan fleksibilitas dalam konteks minoritas Muslim. Muhammadiyah juga merujuk pada Manhaj Tarjih yang menyeimbangkan aspek materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi, untuk memberikan solusi praktis tanpa melanggar prinsip Islam.

“Agama harus menjadi jalan untuk membangun kesejahteraan manusia, baik di dunia maupun akhirat,” tegas Hamim.

Ia juga menyoroti perlunya merekonstruksi pemahaman halal dan haram secara kontekstual. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan panduan praktis bagi umat Islam di Jepang dalam menghadapi tantangan hidup sebagai minoritas.

Hamim mengakhiri sambutannya dengan mengutip QS Al-Baqarah ayat 249, mengingatkan umat Islam untuk tetap teguh meskipun berada dalam posisi minoritas. Ia berharap hasil halaqah ini dapat menjadi solusi yang bermanfaat, tidak hanya secara spiritual tetapi juga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari umat Islam di Jepang. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *