Makna Filosofis dan Implikatif Perubahan Istilah Peserta Didik menjadi Murid

Makna Filosofis dan Implikatif Perubahan Istilah Peserta Didik menjadi Murid

*)Oleh:M.Ainul Yaqin Ahsan, M.Pd
Anggota MTT PDM Lamongan

Perubahan istilah dalam sistem pendidikan sering kali dianggap sebagai hal administratif yang tidak memiliki dampak signifikan terhadap kualitas pembelajaran. Namun, perubahan istilah “Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)” menjadi “Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB)” menunjukkan adanya pergeseran paradigma yang lebih dalam, terutama terkait dengan filosofi pendidikan, relasi antara pendidik dan pembelajar, serta konsep pembelajaran berbasis adab.

Pergantian ini, jika ditelaah secara mendalam, bukan hanya soal nomenklatur tetapi juga membawa konsekuensi bagi pola pikir masyarakat dalam memandang hakikat pendidikan itu sendiri.

Perbandingan Peserta Didik dan Murid

Dalam sistem pendidikan modern, istilah “peserta didik” sering digunakan untuk menekankan bahwa seseorang adalah bagian dari suatu sistem pembelajaran yang bersifat struktural dan formal. Konsep ini berakar pada model pendidikan berbasis administrasi, di mana peserta didik dianggap sebagai subjek yang harus memenuhi standar akademik tertentu untuk mencapai tingkat keberhasilan yang diukur secara kuantitatif.

Sebaliknya, istilah “murid” memiliki makna yang lebih filosofis dan historis. Kata “murid” berasal dari bahasa Arab “iradah” yang berarti kehendak atau keinginan kuat. Dalam pendidikan klasik, seorang murid tidak hanya menjadi penerima informasi secara pasif, tetapi juga memiliki peran aktif dalam mencari ilmu dengan penuh kesungguhan. Murid memiliki hubungan yang lebih personal dengan gurunya, di mana pembelajaran bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi juga tentang membentuk karakter dan adab.

Dalam banyak tradisi keilmuan Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, murid memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu dengan niat yang benar serta memperlakukan gurunya dengan penuh penghormatan. Dalam sistem pendidikan modern, aspek ini mulai terkikis dengan adanya hubungan yang lebih formalistik antara guru dan peserta didik. Oleh karena itu, pengembalian istilah “murid” dalam konteks pendidikan bisa menjadi langkah awal dalam merevitalisasi kembali konsep adab dalam pembelajaran.

Relasi Guru-Murid dalam Perspektif Pendidikan Klasik dan Modern

Perbedaan mendasar antara “peserta didik” dan “murid” juga tercermin dalam pola hubungan antara pengajar dan pembelajar. Dalam pendidikan klasik, relasi antara guru dan murid sering kali bersifat mentor-apprentice, di mana murid tidak hanya menerima ilmu tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai moral dan spiritual yang diberikan oleh gurunya. Konsep ini sejalan dengan model pendidikan Islam yang menekankan pentingnya adab sebelum ilmu.

Di sisi lain, pendidikan modern cenderung memisahkan aspek moral dari pembelajaran akademik. Guru dianggap sebagai fasilitator yang bertugas mentransfer pengetahuan, sementara peserta didik menjadi entitas yang harus memenuhi standar akademik tertentu. Akibatnya, dalam sistem pendidikan yang berbasis administrasi, sering kali terjadi degradasi nilai-nilai penghormatan terhadap guru.

Dalam beberapa kasus, kita bahkan menyaksikan bagaimana peserta didik tidak lagi segan untuk memperlakukan gurunya dengan kurang hormat, bahkan ada kasus kekerasan terhadap tenaga pendidik.

Dengan kembalinya istilah “murid,” ada harapan bahwa sistem pendidikan juga akan kembali menekankan aspek moral dan etika dalam pembelajaran. Relasi guru-murid yang lebih erat tidak hanya akan meningkatkan efektivitas transfer ilmu, tetapi juga membangun karakter yang lebih baik dalam diri murid.

Implikasi Terhadap Kurikulum dan Sistem Pendidikan

Perubahan istilah ini juga memiliki dampak terhadap kurikulum dan metode pengajaran. Dalam sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada konsep “murid,” pendekatan pembelajaran akan lebih menitikberatkan pada interaksi langsung antara guru dan murid, serta pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning). Hal ini sesuai dengan teori pendidikan yang dikembangkan oleh John Dewey, yang menekankan bahwa pendidikan harus bersifat kontekstual dan relevan dengan kehidupan nyata.

Selain itu, perubahan ini juga dapat memengaruhi cara evaluasi dalam pendidikan. Dalam sistem berbasis “peserta didik,” evaluasi lebih banyak mengandalkan ujian tertulis dan nilai numerik sebagai indikator keberhasilan. Sebaliknya, dalam sistem yang berorientasi “murid,” evaluasi dapat mencakup aspek karakter, pemikiran kritis, dan kemampuan beradaptasi dalam kehidupan nyata.

Reformasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) dan Implikasinya

Salah satu implikasi langsung dari perubahan istilah ini adalah reformasi dalam sistem penerimaan siswa. Dengan mengubah pendekatan dari “Penerimaan Peserta Didik Baru” menjadi “Sistem Penerimaan Murid Baru,” ada indikasi bahwa pemerintah ingin mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dalam menilai calon murid. Hal ini bisa mencakup penilaian terhadap prestasi non-akademik, keterampilan kepemimpinan, serta nilai-nilai etika yang dimiliki oleh calon murid.

Baca juga: Jejak Kyai Dahlan dan Fondasi Pendidikan Modern Muhammadiyah

Selain itu, perubahan ini juga bisa menjadi bagian dari upaya untuk menghilangkan rigiditas dalam sistem zonasi yang selama ini diterapkan dalam PPDB. Dengan lebih menitikberatkan pada aspek kemampuan dan kondisi calon murid, sistem pendidikan dapat lebih inklusif dan memberikan kesempatan yang lebih adil bagi individu yang memiliki potensi besar tetapi tidak terakomodasi oleh sistem sebelumnya.

Menuju Pendidikan yang Berbasis Adab dan Intelektualisme

Perubahan istilah dari “peserta didik” menjadi “murid” bukan sekadar perubahan administratif, tetapi juga membawa implikasi yang mendalam dalam dunia pendidikan. Istilah “murid” mengandung makna filosofis yang lebih dalam, di mana seorang pembelajar tidak hanya mengumpulkan ilmu tetapi juga mengembangkan karakter dan adab.

Jika perubahan ini diiringi dengan reformasi sistem pendidikan yang lebih luas, seperti peningkatan kualitas hubungan guru-murid, perubahan dalam metode evaluasi, serta perbaikan sistem penerimaan siswa, maka kita dapat berharap bahwa pendidikan di Indonesia akan lebih mampu mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi.

Pendidikan bukan hanya tentang angka dan sertifikasi, tetapi juga tentang bagaimana membentuk manusia yang berakhlak dan siap menghadapi tantangan dunia dengan landasan moral yang kuat.

Dengan demikian, perubahan istilah ini dapat menjadi momentum untuk merevitalisasi kembali pendidikan yang berbasis nilai, adab, dan intelektualisme. Namun, perubahan ini harus didukung oleh kebijakan pendidikan yang konsisten serta kesadaran dari semua pihak, baik pendidik, murid, maupun masyarakat, bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang harus dibangun dengan fondasi yang kokoh, baik dari segi akademik maupun moral. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *