Masjid Bukan Sekadar Pengeras Suara: Menjadi Pusat Pengentasan Kemiskinan

Masjid Bukan Sekadar Pengeras Suara: Menjadi Pusat Pengentasan Kemiskinan
*) Oleh : Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Anggota Departemen ZIS Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Jawa Timur
www.majelistabligh.id -

Sejak awal Islam hadir, masjid bukan hanya tempat salat. Di tangan Nabi Muhammad, Masjid Nabawi jadi pusat belajar, bermusyawarah, hingga mengatur distribusi kesejahteraan umat.

Di Indonesia, warisan itu seakan menunggu untuk dihidupkan kembali. Dengan jumlah yang luar biasa besar—di Jawa Barat saja ada lebih dari 62 ribu masjid, Jawa Tengah 52 ribu, dan Jawa Timur 52 ribu—masjid sebenarnya bisa menjadi motor penggerak pengentasan kemiskinan. Infrastruktur sosial ini sudah berdiri, menyebar sampai ke level kampung. Pertanyaannya: mengapa belum dimaksimalkan?

Realitas sosial kita jelas: BPS mencatat tingkat kemiskinan Maret 2025 berada di angka 8,47% atau sekitar 23,8 juta jiwa. Angka ini memang turun, tapi tetap berarti jutaan orang masih hidup rentan. Di sinilah masjid bisa mengambil peran strategis—menjadi ruang yang dekat dengan warga, dipercaya jemaahnya, dan hadir setiap hari.

Namun ironis, kadang ada masjid yang keberadaannya justru mengundang ketidaknyamanan karena takmir kurang bijak mengatur pengeras suaranya.

Secara teori, masjid punya bekal kuat. Robert Putnam dalam teori modal sosial menekankan arti penting kepercayaan, norma, dan jejaring dalam memperkuat kolaborasi. Masjid sudah punya semua itu lewat jemaah, pengajian, hingga tradisi gotong royong.

Dalam perspektif Islam sendiri, maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan syariat) mengajarkan pentingnya menjaga harta (ḥifẓ al-māl) dan jiwa (ḥifẓ al-nafs), yang berarti pengurangan kemiskinan bukan sekadar amal, melainkan kewajiban sosial. Bahkan Elinor Ostrom dengan teori polisentris menegaskan bahwa masalah publik lebih efektif diatasi oleh banyak pusat aksi. Dengan jaringan masjid dari RT hingga kota, bukankah kita sudah punya model polisentris alami?

Dari sisi pendanaan, sumber daya juga ada. Potensi zakat nasional diperkirakan mencapai Rp327 triliun per tahun. Angka yang fantastis, tapi sering hanya berhenti di distribusi karitatif: paket sembako saat Ramadan, santunan sekali waktu. Padahal, dana sebesar ini bisa menjadi “modal sabar” untuk memberdayakan ekonomi umat—dari pembiayaan usaha mikro, pelatihan keterampilan, hingga koperasi jamaah.

Lalu, bagaimana praktiknya? Bayangkan jika masjid menjadi pusat data sosial. Takmir bisa mendata keluarga miskin di sekitar masjid, by name by address, sehingga penyaluran bantuan tepat sasaran. Dana zakat, infak, dan sedekah bisa dikelola produktif: bukan hanya memberi beras, tapi membiayai usaha warung tetangga atau modal dagang kecil. Tanah wakaf bisa dialihfungsikan menjadi kios UMKM, koperasi jamaah, atau pusat logistik makanan halal. Semua dikelola dengan standar akuntabilitas modern: laporan keuangan diumumkan tiap Jumat, ada audit sederhana, bahkan aplikasi digital untuk transparansi.

Potensi dampaknya luar biasa. Jika hanya 10% dari seluruh masjid di Indonesia menjalankan program pemberdayaan dengan target 50 keluarga miskin per tahun, maka ratusan ribu keluarga bisa keluar dari jerat kemiskinan setiap tahunnya. Apalagi, masjid tersebar merata di provinsi padat penduduk, membuat efek jaringannya lebih cepat menyebar.

Tentu ada tantangan: manajemen SDM takmir yang masih tradisional, potensi politisasi masjid, dan lemahnya kolaborasi lintas lembaga. Tapi semua ini bisa dijawab dengan kemitraan: masjid bekerja sama dengan BAZNAS, perguruan tinggi, BMT, hingga pemerintah daerah. Indikator keberhasilan masjid pun bisa bergeser: bukan lagi sekadar jumlah jamaah salat Jumat, tapi juga berapa keluarga miskin yang terbantu, berapa UMKM baru yang lahir, atau berapa pemuda yang mendapat pekerjaan.

Singkatnya, masjid punya semua modal untuk jadi pusat pengentasan kemiskinan: jaringan, kepercayaan, dana sosial, dan legitimasi moral. Yang dibutuhkan hanyalah desain baru yang berbasis data, transparansi, dan pemberdayaan produktif. Jika masjid kembali menjadi pusat kemaslahatan, Indonesia tak hanya punya ruang ibadah yang ramai, tetapi juga punya “mesin sosial” yang bekerja nyata mengangkat martabat umat.

Karena sejatinya, masjid bukan sekadar pengeras suara untuk adzan, melainkan pengeras suara bagi keadilan sosial. (*)

Tinggalkan Balasan

Search