Dewasa ini, kita semakin sering dihadapkan pada berbagai fenomena sosial yang melibatkan remaja. Beragam kasus kenakalan muncul ke permukaan dan menjadi perhatian bersama. Penulis melihat bahwa sebagian remaja saat ini seolah kehilangan ruh akhlak yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam bersikap dan berperilaku.
Nilai-nilai kesopanan, rasa hormat, serta tanggung jawab perlahan memudar, tergantikan oleh sikap berani melawan, acuh, bahkan agresif. Fenomena tersebut dapat dengan mudah kita temui di lingkungan sekolah. Tidak sedikit siswa yang sudah tidak lagi merasa segan kepada guru. Teguran yang seharusnya menjadi sarana pembinaan justru dibalas dengan perlawanan, bantahan, bahkan tantangan secara terang-terangan.
Padahal, guru merupakan figur pendidik yang memiliki peran strategis dalam membentuk karakter, kepribadian, dan masa depan peserta didik. Kondisi serupa juga terjadi di lingkungan rumah. Ada anak yang berani membentak orang tuanya, bahkan dalam beberapa kasus sampai melakukan kekerasan ketika keinginannya tidak terpenuhi.
Hal ini diperparah dengan maraknya berbagai bentuk kenakalan remaja seperti merokok, pergaulan bebas, konsumsi minuman keras, hingga tawuran. Semua perilaku tersebut kini kerap dilakukan secara terbuka, seolah tanpa rasa takut, tanpa rasa bersalah, dan tanpa pertimbangan nilai moral.
Penulis membandingkan kondisi tersebut dengan kehidupan remaja pada masa lalu.
Dahulu, ketika seorang remaja melakukan pelanggaran, ia akan diliputi rasa khawatir dan takut terhadap konsekuensi yang akan diterimanya. Hukuman dipandang sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahan. Bahkan, tidak jarang seorang anak enggan menyampaikan kesalahannya kepada orang tua karena khawatir akan mendapatkan hukuman tambahan, sebab orang tua mengetahui bahwa anaknya benar-benar bersalah.
Hukuman pada masa lalu tidak semata-mata bersifat represif, melainkan mengandung nilai pendidikan. Di dalamnya terdapat pembelajaran yang membentuk kehati-hatian, kedisiplinan, dan kesadaran moral. Hukuman menjadi sarana refleksi diri, sehingga anak belajar membedakan antara yang benar dan yang salah. Proses inilah yang perlahan membentuk akhlak dan karakter yang kuat.
Meskipun realitas saat ini terlihat memprihatinkan, penulis meyakini bahwa harapan untuk perubahan ke arah yang lebih baik tetap terbuka lebar. Proses perubahan tersebut dapat dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga, dan diperkuat oleh lingkungan masyarakat. Keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak, tempat nilai-nilai dasar kehidupan ditanamkan sejak usia dini.
Keteladanan orang tua dalam menampilkan nilai-nilai kebaikan secara konsisten memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan karakter anak. Anak belajar bukan hanya dari nasihat, tetapi terutama dari apa yang ia lihat dan rasakan setiap hari di dalam rumah. Pendekatan yang intens, penuh kasih sayang, serta komunikasi yang terbuka akan membuat anak merasa aman dan dihargai. Mengajak anak berdiskusi, mendengarkan pendapatnya, serta memberikan apresiasi atas perilaku positif yang ia lakukan akan menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab moral.
Selain keluarga, lingkungan masyarakat juga berperan penting dalam menjaga keberlanjutan pendidikan karakter. Lingkungan merupakan ruang sosial tempat anak berinteraksi dengan beragam karakter, nilai, dan situasi. Lingkungan yang baik akan memperkuat nilai-nilai positif yang ditanamkan di rumah, sedangkan lingkungan yang kurang kondusif dapat menjadi tantangan serius bagi perkembangan akhlak anak. Oleh karena itu, menjaga moral generasi muda merupakan tanggung jawab bersama.
Keluarga berperan sebagai tempat pembinaan, sementara masyarakat menjadi ruang pengawasan dan penguatan. Anak yang kerap dicap “nakal” sejatinya masih memiliki harapan besar untuk berubah. Penulis mencontohkan apa yang dilakukan oleh seorang wali kelas di SMP Muhammadiyah Kediri yang bekerja sama dengan wali murid serta Lembaga Dakwah Komunitas PDM Kota Kediri. Mereka mengadakan kegiatan outbound bagi anak-anak yang disebut sebagai “anak luar biasa hebat”.
Pendekatan yang digunakan bersifat menggembirakan dan menyenangkan, sehingga anak merasa diterima dan dihargai. Melalui kegiatan tersebut, anak-anak tidak hanya mendapatkan motivasi, tetapi juga dilatih kemandirian, keberanian, serta kemampuan menghadapi tantangan. Lingkungan yang memberikan apresiasi atas niat dan usaha untuk berubah akan menumbuhkan semangat positif dalam diri anak.
Inilah salah satu contoh konkret pendidikan karakter yang humanis dan efektif. Dengan demikian, pendidikan karakter sejatinya bukan sekadar wacana atau program sesaat, melainkan ikhtiar berkelanjutan yang harus dijalankan dengan kesadaran dan komitmen bersama. Ketika rumah menjadi ruang aman untuk menanamkan nilai, sekolah menjadi tempat penguatan, dan masyarakat menjadi lingkungan yang peduli, maka anak-anak akan tumbuh dengan arah yang jelas.
Dari sinilah pribadi-pribadi hebat akan lahir, tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual, sehingga mampu membawa kebaikan bagi diri, lingkungan, dan masa depan bangsa. (*)
