“Mendampingi bukan menghakimi” adalah prinsip yang sangat kuat dan penuh kasih dalam konteks pendidikan, parenting, dan kepemimpinan. Ia mengajak kita untuk hadir sebagai penopang, bukan sebagai hakim.
Makna Filosofis dan Spiritual:
* Mendampingi berarti hadir dengan empati, mendengarkan dengan hati, dan berjalan bersama dalam proses tumbuh.
* Menghakimi sering kali lahir dari ego, dari keinginan untuk mengontrol atau menilai tanpa memahami konteks batin seseorang.
* Dalam Islam, Allah sendiri adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan kita diajak meneladani sifat-sifat ini dalam interaksi kita dengan sesama.
Praktik dalam Kehidupan Sehari-hari:
* Dalam pendidikan: Guru yang mendampingi akan membuka ruang dialog, bukan sekadar memberi hukuman. Ia melihat potensi, bukan hanya kesalahan.
* Dalam keluarga: Orang tua yang mendampingi akan menjadi tempat aman bagi anak untuk berbagi, bukan sumber ketakutan karena penilaian.
* Dalam kepemimpinan atau publik: Pemimpin yang mendampingi akan membangun kepercayaan dan integritas, bukan menciptakan budaya saling menyalahkan.
Ada sebuah buku berjudul “Mendampingi Bukan Menghakimi” karya Dewi Wahyuningsih, yang mengisahkan perjalanan seorang guru menjadi pendidik dan sahabat bagi murid-muridnya. Ia menekankan bahwa guru hebat adalah yang mampu mencetak generasi berakhlak mulia melalui pendampingan yang penuh cinta.
“Mendampingi bukan menghakimi” mencerminkan nilai-nilai Qur’ani yang sangat dalam: kasih sayang, kebebasan memilih, dan tanggung jawab pribadi di hadapan Allah. Meskipun tidak ada satu ayat yang secara eksplisit menggunakan frasa tersebut, banyak ayat yang menegaskan prinsip pendampingan dengan hikmah dan penghindaran dari sikap menghakimi secara arogan.
Berikut beberapa ayat yang sangat relevan:
1. QS. Yunus: 40-41
وَمِنْهُمْ مَّنْ يُّؤْمِنُ بِهٖ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّا يُؤْمِنُ بِهٖۗ وَرَبُّكَ اَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِيْنَ ࣖ وَاِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِّيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْۚ اَنْتُمْ بَرِيْۤـُٔوْنَ مِمَّآ اَعْمَلُ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ
40. Di antara mereka ada orang yang beriman padanya (Al-Qur’an), dan di antara mereka ada (pula) orang yang tidak beriman padanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.
41. Jika mereka mendustakanmu (Nabi Muhammad), katakanlah, “Bagiku perbuatanku dan bagimu perbuatanmu. Kamu berlepas diri dari apa yang aku perbuat dan aku pun berlepas diri dari apa yang kamu perbuat.”
Ayat ini mengajarkan bahwa tugas kita bukan menghakimi, tetapi menyampaikan kebenaran dan membiarkan Allah yang menilai. Kita mendampingi dengan sabar, bukan memaksa atau mencela.
2. QS. Al-Kahfi: 29
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًاۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَاۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَاۤءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَۗ بِئْسَ الشَّرَابُۗ وَسَاۤءَتْ مُرْتَفَقًا
29. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang-orang zalim yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (dengan meminta minum), mereka akan diberi air seperti (cairan) besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) seburuk-buruk minuman dan tempat istirahat yang paling jelek.
Allah memberi ruang bagi manusia untuk memilih, dan kita sebagai pendamping harus menghormati proses itu. Ini adalah bentuk pendampingan yang penuh adab dan kebijaksanaan.
3. QS. Al-Baqoroh: 256
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
256. Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut79) dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
79) Kata tagut disebutkan untuk setiap yang melampaui batas dalam keburukan. Oleh karena itu, setan, dajal, penyihir, penetap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah Swt., dan penguasa yang tirani dinamakan tagut.
Ayat ini menegaskan bahwa keimanan tidak bisa dipaksakan. Mendampingi berarti memberi ruang untuk memahami, bukan memaksa atau menghakimi.
4. QS. An-Nahl: 125
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
125. Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah424) dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.
424) Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil.
Ini adalah ayat kunci dalam mendampingi. Seruan kepada kebaikan harus dilakukan dengan hikmah, bukan dengan vonis atau celaan.
Mendampingi berarti memberikan ruang bagi anak anak untuk mencoba, gagal, dan belajar dari kesalahanya sendiri. Ini bukan mengatur setiap langkah atau menentukan jawaban yang benar, tapi tentang mendengarkan, memahami dan menuntun dengan lembut.
Anak yang didampingi dengan bijak percaya diri, belajar berpikir kritis, dan belajar bertanggungjawab.
