Menggenggam Inspirasi di Tengah Ujian

Menggenggam Inspirasi di Tengah Ujian
*) Oleh : Ahmad Afwan Yazid, M.Pd
Guru PAI dan Wakil Kepala SD Muhammadiyah 4 Kota Malang, Praktisi Pendidikan dan Parenting Keluarga
www.majelistabligh.id -

Dalam perjalanan hidup, manusia sering dihadapkan pada ujian berupa sakit atau keterbatasan fisik. Kondisi ini kerap menjadi alasan bagi sebagian orang untuk berhenti beraktivitas, menunda karya, atau bahkan kehilangan semangat. Namun, dalam pandangan Islam, sakit bukanlah penghalang untuk tetap memberi manfaat dan menebar kebaikan. Rasulullah saw sendiri, dalam berbagai riwayat, tetap mengajarkan umatnya meskipun berada dalam keadaan lemah secara fisik.

Allah swt berfirman:

> وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj: 78)

Ayat ini menegaskan bahwa perjuangan dan usaha dalam kebaikan tidak hanya terbatas pada kekuatan raga, tetapi juga melibatkan kekuatan hati, pikiran, dan semangat. Orang yang sakit masih bisa memberi inspirasi melalui kata-kata, ide, atau karya yang bermanfaat.

Bahkan Rasulullah saw bersabda:

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, tetap dicatat baginya pahala seperti yang biasa ia kerjakan ketika sehat dan menetap.” (HR. Bukhari)

Hadis ini mengajarkan bahwa meskipun fisik terbatas, semangat untuk berkarya dan berbuat kebaikan tetap mendapat nilai besar di sisi Allah.

Fenomena raga yang sakit tetapi pikiran terus berputar mencari inspirasi menunjukkan bahwa semangat dan motivasi lahir dari kekuatan jiwa, bukan semata-mata dari kondisi fisik. Dalam dunia modern, banyak tokoh besar, penulis, dan pemikir yang melahirkan karya terbaik mereka justru di saat kondisi fisik mereka sedang lemah. Islam mendorong umatnya untuk memanfaatkan setiap keadaan, termasuk ketika sakit, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan memberi manfaat bagi sesama.

Rasulullah saw mencontohkan bahwa nilai seseorang di sisi Allah tidak hanya diukur dari kekuatan fisik, tetapi juga dari tekad, keikhlasan, dan kontribusinya terhadap umat. Oleh karena itu, keterbatasan fisik tidak boleh dijadikan alasan untuk berhenti berjuang.

Ketika tubuh melemah, sering kali manusia terdorong untuk berhenti sejenak dari aktivitasnya. Namun, ada kalanya, di balik sakit yang dirasakan raga, pikiran justru tetap bekerja, mencari celah inspirasi, merajut ide-ide, dan merancang kebaikan. Sakit ternyata bukan sekadar penghalang, tetapi bisa menjadi pemantik untuk melihat hidup dengan sudut pandang yang lebih dalam.

Dalam Al-Qur’an, Allah swt mengingatkan bahwa hidup seorang mukmin tidak pernah lepas dari ujian, baik dalam bentuk kesulitan maupun kesehatan yang terganggu:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Ayat ini menegaskan bahwa ujian adalah bagian dari perjalanan hidup, dan sakit hanyalah salah satu bentuknya. Justru di balik sakit, Allah membuka peluang pahala bagi hamba-Nya yang tetap bersabar dan terus berkarya.

Rasulullah saw juga bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ، وَلَا وَصَبٍ، وَلَا هَمٍّ، وَلَا حُزْنٍ، وَلَا أَذًى، وَلَا غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim tertimpa keletihan, penyakit, kegundahan, kesedihan, gangguan, atau kesusahan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberi kabar gembira bahwa setiap rasa sakit, sekecil apa pun, mengandung penghapus dosa. Namun, alangkah baiknya jika rasa sakit itu tidak membuat kita berhenti berbuat, melainkan menjadi bahan bakar untuk memberi dampak.

Dalam perspektif analisis kritis, raga yang sakit seharusnya tidak mematikan semangat untuk berkontribusi. Sejarah mencatat, banyak ulama dan tokoh yang tetap berkarya di tengah sakitnya. Imam Bukhari menyelesaikan sebagian besar hadits-haditsnya dalam kondisi fisik yang tidak selalu prima. Syekh Abdul Qadir al-Jailani berdakwah meski sering kelelahan fisik. Mereka membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukan alasan untuk berhenti memberi manfaat.

Inspirasi yang lahir dari keterbatasan justru sering kali lebih tajam, karena ia lahir dari perenungan yang mendalam. Sakit dapat menjadi waktu yang Allah berikan untuk memperlambat gerak tubuh, namun mempercepat gerak pikiran dan hati.

Maka, seorang muslim yang bijak akan menjadikan sakit sebagai momentum untuk:

1. Memperbanyak dzikir dan doa, karena hati yang lembut dalam sakit lebih mudah terhubung dengan Allah.

2. Menulis dan berbagi inspirasi, meski fisik terbatas, ilmu dan gagasan tetap bisa dibagikan.

3. Merenungi tujuan hidup, agar setiap gerakan setelah sehat memiliki arah yang lebih jelas.

Sakit hanyalah jeda bagi tubuh, bukan bagi semangat. Selama akal masih bisa berpikir dan hati masih bisa merindu kepada Allah, maka gerak dakwah, ilmu, dan amal tidak boleh terhenti.

Sebagai kader Muhammadiyah harus selalu memberi manfaat bagi semua orang, karena sakit bukan halangan, akan tetapi sakit adalah jeda sejenak untuk membuahkan dampak dan perubahan yang lebih besar. (*)

Tinggalkan Balasan

Search