Gagasan sosialisme Muhammadiyah bukanlah istilah yang sering muncul dalam percakapan publik kontemporer, tetapi esensinya telah hadir sejak organisasi ini berdiri: sebuah komitmen moral untuk mencerdaskan, menyehatkan, dan memajukan rakyat kecil melalui amal usaha yang berkeadaban.
Di tengah era disrupsi—ketika teknologi mengguncang lanskap ekonomi, budaya, dan politik—gagasan sosialisme Muhammadiyah perlu dihidupkan kembali sebagai kerangka etik dan praksis untuk menjaga keberpihakan terhadap kaum mustaḍ‘afīn.
Pertama, era disrupsi menciptakan ketimpangan baru. Digitalisasi melahirkan “kelas menengah digital” yang mampu mengikuti percepatan teknologi, sementara kelompok rentan tertinggal tanpa akses, keterampilan, maupun perlindungan sosial memadai. Dalam konteks ini, warisan sosialisme Muhammadiyah—yang tercermin pada etos al-ma‘un, solidaritas horizontal, dan pembelaan terhadap kaum lemah—menjadi semakin relevan.
Semangat KH Ahmad Dahlan yang menggerakkan murid-muridnya untuk mempraktikkan Surat Al-Ma’un secara sosial adalah manifestasi sosialisme etik yang mendahului wacana negara kesejahteraan modern.
Kedua, komersialisasi pendidikan dan kesehatan telah menggerus roh gerakan. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) memang tumbuh menjadi institusi besar, namun pertumbuhan tersebut menghadapi risiko korporatisasi: biaya pendidikan yang meningkat, pelayanan kesehatan yang makin kompetitif, dan logika bisnis yang menyusup ke ruang dakwah. Tantangannya adalah menjaga agar AUM tidak berubah menjadi raksasa birokratik yang kehilangan kepekaan terhadap rakyat kecil.
Menghidupkan kembali sosialisme Muhammadiyah berarti melakukan reorientasi nilai agar AUM tetap berpijak pada prinsip keadilan, aksesibilitas, dan kebermanfaatan sosial, bukan semata efektivitas ekonomi.
Ketiga, era disrupsi menuntut inovasi gerakan. Sosialisme Muhammadiyah tidak boleh berhenti pada pendekatan karitatif tradisional semata. Ia harus bergerak ke model penguatan struktural: pemberdayaan ekonomi digital bagi UMKM, penguatan literasi teknologi di komunitas miskin, hingga advokasi kebijakan publik yang melindungi buruh gig economy—ojek online, kurir, dan pekerja informal yang hidup dalam ketidakpastian algoritmik.
Muhammadiyah memiliki modal sosial, budaya, dan kelembagaan yang cukup untuk memimpin gerakan sosial baru ini, tetapi perlu kemauan politik internal untuk memandang disrupsi sebagai ladang dakwah sosial, bukan ancaman.
Keempat, sosialisme Muhammadiyah hari ini menuntut revitalisasi etos kolektif di tingkat akar rumput. Ranting dan cabang harus kembali menjadi ruang inisiatif warga, bukan hanya perpanjangan tangan birokrasi persyarikatan. Gerakan filantropi berbasis komunitas, koperasi digital, rumah belajar teknologi, dan jaringan perlindungan sosial berbasis masjid dapat menjadi wujud baru sosialisme Muhammadiyah yang adaptif. Dalam konteks ini, Lazismu, NA, IPM, dan jaringan ortom lainnya dapat bersinergi untuk menumbuhkan gerakan solidaritas yang lebih kreatif dan inklusif.
Akhirnya, menghidupkan kembali sosialisme Muhammadiyah bukan upaya romantisme masa lalu, tetapi ikhtiar menjadikan nilai-nilai keadilan, egalitarianisme, dan keberpihakan pada kaum lemah sebagai fondasi menghadapi dunia yang kian tidak pasti.
Di tengah kapitalisme platform dan hegemoni komersialisasi, Muhammadiyah memiliki peluang historis untuk menunjukkan bahwa gerakan Islam modernis tetap mampu menjadi pelopor transformasi sosial. Tantangannya bukan sekadar bertahan dalam disrupsi, tetapi memimpin arah perubahan menuju masyarakat yang lebih adil, berkeadaban, dan berkemajuan. (*)
