Menjadi Berani, Menjadi Pencerah: Refleksi Milad Muhammadiyah

Menjadi Berani, Menjadi Pencerah: Refleksi Milad Muhammadiyah
*) Oleh : Angga Adi Prasetya, M.Pd
Guru SD Muhamadiyah 1 Malang dan Sekbid Dakwah PDPM Malang
www.majelistabligh.id -

Ada suatu ungkapan yang menggugah yaitu ” Unsur cinta dan keberanianlah yang membuat seseorang mempunyai pengikut.”

Kita kembali menengok kisah di tahun 1897, diskusi panas antara Ahmad Dahlan dan ulama keraton makin menjadi.
Masjid Keraton yang begitu sakral dianggapnya telah menyalahi tata kiblat. Dan semua orang mulai jengah, dan bosan. Beberapa kiai mengangguk, setuju, tetapi tak sedikit yang berhaluan lain dengan argumen Ahmad Dahlan: bahwa kiblat Masjid Keraton Yogyakarta terlalu lurus ke barat. Afrika!

Belum menemukan titik temu, maka Sang Pencerah datang mengadukan masalah ini kepada Kepala Penghulu Keraton, KH Muhammad Chalil Kamaludiningrat, karena menurutnya ini bukan hanya berhubungan dengan ahli tidaknya seseorang, ini adalah masalah ibadah wajib. Jika ada syarat dan ketentuan tak terpenuhi, batal.

Konsekuensi yang berat. Namun, tak jua beliau memberi restu.

Karena pengubahan arah kiblat menjadi titik jenuh KΗ. Ahmad Dahlan dalam menyikapi problem multidimensi masyarakatnya, suatu malam, sebagai pertanggungjawaban seorang yang paham akan hal itu, murid-murid Ahmad Dahlan tanpa sepengetahuan beliau beranjak menuju Masjid Keraton yang telah sepi. Mereka menyematkan garis-garis putih di bilah-bilah shaf, meluruskannya hingga tegak menghadap Makkah, bukan lagi ke Afrika. Wacana itu mereka nyatakan.

Esoknya, para pembesar keraton gerah, ini dianggap pelanggaran besar nan patut dikecam. Dan akhirnya, Ahmad Dahlan juga yang kena sasarannya. Beliau harus membayar peristiwa-yang sama sekali tak diketahuinya itu dengan dilepasnya jabatan Khatib Amin Masjid Keraton Yogyakarta. Namun, sama sekali beliau tak menyalahkan murid-muridnya, yakin bahwa inilah skenario Allah.

Dan di situlah titik mula pembeda.

Pada mata manusia, pemecatan itu tidaklah menjadi untung bagi KH. Ahmad Dahlan, justru menjadi momok perbincangan negatif. Namun, di situ kembali Allah mengulang sunnatullah-Nya. Justru dari situ golongan muda bangkit dan telah menemukan pusat pusarannya. Dan dengan keberanian, KH. Ahmad Dahlan menjadi pusat pusaran gelombang perbaikan yang radiusnya berlabuh sampai ujung-ujung nusantara.

Muhammadiyah namanya – 18 November 1912- disebut-sebut para sejarawan sebagai dampak gelombang Tajdid Raksasa yang bermula dari Mesir.

Berbicara tentang Ahmad Dahlan dan gagasan beliau yang heroik, kita seakan juga diminta menengok Sirah Nabawiyah-semua nabi-yang kesemuanya mempunyai laku benar serta keteladanan nan berjuang mendapat tantangan yang sama: tradisi yang mengikat, budaya yang tak layak, fanatisme duniawi yang menjadi-jadi. Dan. terjadilah.. manusia pilihan ini menjalani hari mereka dengan keberanian, cinta dan pengharapan besar pada pertolongan Allah.

Bukan keputusan sepele ketika Ibrahim muda mengapak patung-patung di sekitar Kuil Namrudz. Beliau tahu apa yang nantinya terjadi dan risiko yang kelak terasa. Namun, beliau juga selalu tahu bahwa janji Allah benarlah adanya.

Apalagi Rasul nan cemerlang kebenarannya, Nabi Muhammad Saw. Gelar Al-Amin yang dahulu disebut orang-orang ketika memanggilnya, seiring bergantinya waktu berubah menjadi kalimat sumpah serapah dan ketakaburan tiada kira. Rasulullah terkasih tahu apa yang akan menimpanya. Rasulullah yang mulia paham bagaimana respons rakyat menanggapi risalah langit ini. Bahkan, paham betul.

Namun, jika tanpa keberanian dan keyakinan, bagaimana mungkin risalah terang benderang itu menggeser telak tradisi jahili. Jika para rasul terkasih hanya berpangku tangan dan sekadar berwacana, mana mungkin manusia tahu dan beranjak meninggalkan lembah-lembah nista?

Maka benarlah unsur cinta dan keberanianlah yang membuat seseorang mempunyai pengikut. Berani mengambil lurus ketika manusia beramai-ramai berbelok, itulah kekuatan yang menjadikan seorang memiliki daya tarik. la mempunyai ledakan yang debunya dirasakan manusia. Seketika ada yang lari menjauh, ada pula yang mengumpat, dan bagi mereka yang cerdas, berpikir dan mengambil langkah padanya hingga keberanian menjadi kekuatan.

Contohlah hal yang sangat sepele. Ketika suatu hari anak-anak SD kelas 1 tidak mau disuntik pada hari kesehatan, adalah seorang anak pemberani datang kepada dokter, lalu dengan mantap ber-kata, “Dok, saya mau disuntik.”

Satu, dua, tiga… lima detik. Sang anak pemberani turun dari dipan, tersenyum bangga melihat kawan-kawannya, pandangan matanya seakan berkata, Nih, aku aja nggak apa-apa. Dan berdonglah anak-anak lain bergiliran ingin disuntik.

Ya, Keberanian untuk mengawali.

Atau juga, perhatikanlah suasana yang awalnya kondusif—orang-orang berbincang seperlunya, saling menghormati, dan menjaga ketenangan. Namun tiba-tiba hadir satu orang yang dengan enteng membuka obrolan tentang kebencian kepada seseorang, menjelekkan tanpa bukti, bahkan menambah-nambahi cerita agar tampak meyakinkan. Aneh, tetapi itulah realitas: sebagian orang di sekitar mulai ikut larut, mendengarkan, mengiyakan, bahkan menambahkan bumbu baru dalam cerita yang sama sekali belum tentu benar. Harmoni pun pecah. Yang tadinya tenang menjadi keruh, yang semula jernih menjadi penuh prasangka.
Inilah salah satu contoh “ keberanian dalam keburukan ”—berani memulai sesuatu yang tidak benar, tetapi sayangnya cepat menular dan merusak banyak hati.

Pada hakikatnya, di sinilah letak tinggi rendahnya daya pikat seseorang. Ibarat umat manusia adalah gelombang-gelombang, maka manusia yang berani adalah pusat pusatan air itu.

Ada banyak sekali pusaran-pusaran di muka bumi ini, entah ini pusat kebenaran atau kebatilan. Keduanya saling berebut arus dan pengikut. Pusat-pusatnya saling adu berat stage yang paling berani menantang peradaban, maka manusia akan terpengaruh dan mengikuti jejaknya.

Di situlah, nabi-nabi kita terkasih adalah manusia paling berani di masanya dan menjadi contoh. Tokoh-tokoh baru yang besar adalah manusia berani yang mengokolaborasikan wacana dan tindakan bersama-sama.

Maka, bagaimana dengan kita! Seandainya saat itu kita adalah Ahmad Dahlan dan muridnya, beranikah kita mengambil langkah mengubah garis shaf yang dianggap sakral itu? Atau mengalah saja dan biarkan orang tersesat dalam kesalahan bertubi-tubi hingga tak ada lagi kebenaran bergema.

Dan, pepatah Jawa memberikan hikmah. Jangan menjadi bener mung ra pener. Benar tetapi tidak pada tempatnya, Kita paham bahwa ada hal yang salah, kita paham bahwa ini itu belum benar. Namun, gerakan ishlah harus disesuaikan dengan kondisi kita. Kita sedang jadi apa, kita sedang berstatus apa, kita sedang punya kedudukan apa. Karena asas ajakan terbaik adalah dengan kasih sayang dan nasihat peluluh hati, eloknya.

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….. (Q.s. an-Nahl [16]: 125)

Pada akhirnya, keberanian adalah hidup itu sendiri. Hidup menuntut keberanian. Dan keberanian yang sejati adalah keberanian yang bersandar kepada Allah.
Hidup harus berani. Dan tentu karena Allah!

Tinggalkan Balasan

Search