Merenung dan Berubah Jadi Lebih Baik

Merenung dan Berubah Jadi Lebih Baik

*)Oleh: Fathan Faris Saputro
Anggota Bidang Pustaka dan Literasi Kwarda HW Lamongan

Senja itu, langit berwarna jingga keemasan, menebarkan cahaya lembut yang menenangkan. Angin sore bertiup pelan, membawa harum tanah yang baru saja tersiram hujan. Di sebuah taman kota yang sepi, duduklah seorang pria bernama Raka di bangku kayu yang sudah mulai lapuk. Tatapannya kosong, menembus hamparan rumput hijau di depannya. Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Hari itu bukan hari biasa bagi Raka. Ia baru saja mengalami kegagalan besar dalam hidupnya. Mimpi yang telah ia bangun bertahun-tahun hancur begitu saja. Usaha yang dirintisnya dengan penuh harapan ternyata tak mampu bertahan dalam kerasnya persaingan. Hutang menumpuk, kepercayaan diri runtuh, dan yang paling menyakitkan, ia kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya.

Dalam diam, pikirannya berputar ke masa lalu. Ia ingat betul bagaimana ia dulu begitu yakin dengan langkah-langkahnya. Ia merasa mampu menaklukkan dunia tanpa perlu banyak bertanya atau belajar dari orang lain. Namun kini, realitas berkata lain. Kegagalan itu seolah menjadi tamparan keras yang membuatnya terbangun dari tidur panjang kesombongan dan keegoisan.

Saat itu, seorang pria tua yang sering ia lihat di taman datang dan duduk di sebelahnya. Pria itu, Pak Harun, adalah seorang pensiunan guru yang dikenal bijaksana. Tanpa diminta, ia mulai berbicara dengan suara lembut namun penuh makna.

“Anak muda, kau tahu kenapa air sungai selalu mengalir meskipun ada batu yang menghalanginya?” tanya Pak Harun sembari menatap lurus ke depan.

Raka menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menggeleng pelan.

“Karena air itu tidak pernah berhenti. Ia terus mencari celah, berbelok, mengalir, dan akhirnya tetap mencapai tujuannya. Begitu pula hidup. Jangan biarkan satu kegagalan membuatmu berhenti. Renungi, pelajari, dan temukan jalan baru,” lanjut Pak Harun sambil tersenyum.

Kata-kata itu menembus hati Raka. Ia sadar bahwa selama ini ia terlalu larut dalam rasa kecewa dan putus asa. Ia belum benar-benar merenungi apa yang telah terjadi. Ia hanya melihat kegagalannya sebagai akhir, bukan sebagai awal untuk bangkit.

Sejak pertemuan itu, Raka mulai mengubah caranya berpikir. Ia mengambil waktu untuk merenung setiap pagi, menulis hal-hal yang bisa ia pelajari dari kesalahannya. Ia mulai menerima kenyataan bahwa tak semua yang ia inginkan bisa terjadi sesuai rencana, tetapi setiap kejadian memiliki pelajaran tersendiri.

Dengan semangat baru, Raka bangkit. Ia memulai kembali langkahnya, namun kali ini dengan lebih hati-hati dan penuh perhitungan. Ia belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman, mendengarkan nasihat, dan lebih terbuka terhadap kritik. Perubahan itu tak terjadi dalam semalam, tetapi sedikit demi sedikit, ia melihat hasilnya. Hidupnya mulai tertata kembali, dan yang terpenting, ia menemukan ketenangan dalam hatinya.

Merenung bukan sekadar duduk diam dan menyesali keadaan. Merenung adalah tentang memahami diri sendiri, mencari pelajaran dari masa lalu, dan menemukan cara untuk menjadi lebih baik. Seperti air sungai yang terus mengalir, hidup pun harus terus bergerak. Karena dalam setiap renungan yang tulus, selalu ada jalan menuju perubahan yang lebih baik. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *