Mesra dengan Alam, Kenangan dan Pengajaran dari Pak Nurul Musthafa

Mesra dengan Alam, Kenangan dan Pengajaran dari Pak Nurul Musthafa

*)Oleh: Piet Hizbullah Khaidir
Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Lamongan

Mesra dengan Alam (Hablun Min al-‘Alam) bisa disebut sebagai kredo ekologis bagi orang-orang beriman. Di dalam al-Qur’an, prinsip mesra dengan alam ini tercermin dalam beberapa ayat, seperti QS. Al-Anbiya’: 105 (bahwa bumi diwarisi oleh hamba-hamba Allah yang shaleh); QS. Al-Baqarah: 11-12 (menyebutkan bahwa orang munafik seringkali membuat kerusakan di muka bumi, tetapi mereka tidak merasa melakukannya, bahkan mereka mendaku melakukan kemaslahatan.

Mafhum mukhalafahnya, orang beriman tidak akan mungkin melakukan kerusakan tersebut); dan puncaknya adalah QS. Ar-Rum: 41 (bahwa kerusakan di daratan dan lautan adalah akibat ulah manusia).

Tulisan ini akan mengisahkan seorang sahabat abah kami di Jember, seorang imam salat rawatib di masjid kami. Namanya Pak Nurul Musthafa. Beliau berpulang 100 hari (3 bulan 10 hari) setelah kepergian abah kami. Sebagai seorang petani, beliau memiliki kredo mesra dengan alam yang sangat dalam. Kami melihat kredo mesra dengan alam ini sebagai pemahaman yang lebih luas dari ayat-ayat al-Qur’an di atas.

Kredo ini juga merupakan implementasi dari kredo hablun minallāh dan hablun minannās. Tulisan ini sekaligus mengenang dan mengabadikan tradisi silaturrahim yang dibangun abah kami semasa hidupnya, serta menjelaskan tentang kredo mesra dengan alam dari sahabat kami tersebut. Berikut adalah kisahnya.

Pagi itu, embun masih membasahi dedaunan hijau pepohonan di kampung halaman kami. Tepat setelah salat subuh, sekitar pukul 05:00. Seperti biasa, selepas salat subuh, aku melanjutkan tradisi yang kutiru dari abah, yakni berkeliling untuk bersilaturrahim sambil berolahraga pagi. Pagi itu, aku berkesempatan untuk mengunjungi seorang tetangga yang sudah lama ingin kutemui, namun selalu saja ada halangan yang membuatku gagal berkunjung sebelumnya. Mungkin karena terlalu kesiangan atau ada aktivitas lain yang harus dilaksanakan setelah shalat subuh. Biasanya, aku berusaha mengunjungi tiga orang di pagi hari.

Singkat cerita, pagi itu beliau ada di rumah. Ketika kuketuk pintu dan mengucap salam, pintu terbuka lebar, dan wajah orang yang kutuju menyembul tersenyum di balik daun pintu.

Orang yang kutuju pagi ini memiliki peran istimewa di keluarga kami. Beliau adalah tetangga, pengurus lembaga pendidikan keluarga kami, imam shalat fardhu, dan badal ketika abah berhalangan. Beliau berasal dari Madura, tetapi besar di Jember, sehingga dikenal dengan istilah Pendalungan atau Madura Swasta.

Sebagai orang Madura, beliau terkenal keras, bahkan terkadang ‘keras kepala’ dalam mempertahankan pendapatnya. Hal ini sering terjadi saat ada rapat gabungan antara pengurus pesantren, pengurus masjid, dan tokoh masyarakat sekitar pesantren. Jika sudah begini, abah kami selalu turun tangan untuk meredakan ketegangan. Tanpa kehadiran abah, debat tersebut sering berlarut tanpa titik temu.

Dalam situasi seperti itu abah memang ‘harus’ turun tangan. Karena kalau tidak, debat itu tak akan pernah berujung. Orang yang kukunjungi ini, biasanya ‘didehemi’ abah dengan penglihatan memohon untuk tidak memperuncing masalah, langsung kendur.

Baca juga: Mencetak Sociopreneur Hijau Bersama Eco Bhineka Muhammadiyah

Obrolan kami benar-benar asyik pagi itu. Entah bagaimana tiba-tiba topik yang diperbincangkan berkisar tentang pertanian. Urusan pertanian ini beliau memang ahlinya. Beliau panjang lebar menjelaskan tentang bagaimana bercocok-tanam yang baik. Misalnya, menurut beliau, satu hektar sawah, sebaiknya ditanami bibit padi 25kg untuk memperoleh hasil panen yang maksimal. Beliau juga mengajarkan tentang bagaimana mengenal jenis-jenis hama padi dan bagaimana ‘berinteraksi’ dengan hama-hama tersebut tanpa merusak habitat lingkungan lainnya. Dan yang lebih penting tanpa merusak tanah persawahan itu.

Pada bagian lain, beliau bercerita tentang pentingnya menyelaraskan antara hablun minalLah dan hablun minannas. Dan, tandasnya, ‘Jangan lupa juga untuk menjaga hablun minal ‘alam’. Beliau menjelaskan bahwa untuk memperoleh kemaslahatan dari alam, kita harus punya hubungan yang bagus dengan alam. “Kita harus mesra dengan alam”, tandasnya.

Tidak sekedar dengan Allah dan manusia, tapi juga dengan alam. Hablun minal ‘alam untuk melakukannya membutuhkan ilmu. Misalnya mau bercocok-tanam, bertani, kita harus paham tentang ilmu persawahan, pertanian dan tetumbuhan. Sebab kalau kita tidak berhubungan dengan alam secara baik, apalagi tidak disertai ilmu pengetahuan, alam akan bereaksi negatif terhadap kita. Demikian kata beliau.

Dengan antusias aku mendengarkan, memperhatikan dan mencerna penjelasan-penjelasan beliau. Sesekali aku bertanya lebih dalam, bertanya, dan bertanya. Pada suatu kesempatan, aku juga mencoba berpendapat mengenai hablun minal ‘alam kaitannya dengan hablun minallah dan hablun minannas. Kataku, pendapat beliau sungguh menarik, dan secara jujur baru kuperoleh istilah hablun minal ‘alam ini dari beliau. Hablun minal ‘alam sungguh sangat berkaitan dengan hablun minalLah. Begitu pendapatku ke beliau. Beliau tampak mengerutkan dahi tanda berpikir.

Lalu kulanjutkan, ketika kita menanam cabai, lalu kita dapati cabai yang telah tumbuh dan berbuah, tampak buah cabai berwarna merah, hijau, bahkan ada yang ungu. Siapa yang mengecatnya? Siapa yang memberinya warna? Tentu kita yakin, yang mampu melakukannya hanyalah Dzat Yang Maha Kuasa.

Ketika kita dapati dan saksikan banjir bandang di mana-mana, longsor, gunung meletus; kita tidak bisa menduga secara pasti kapan bencana itu terjadi. Kita hanya yakin bahwa gunung, pohon, sungai, air, udara, dan alam raya seisinya adalah makhluk Allah Swt. Mungkin ketika makhluk-makhluk itu bereaksi menjadi bencana atas manusia, mereka menjadi perantara nyata atas Kekuasaan Gusti Allah.

Aku tidak sedang berkata bahwa bencana itu karena dosa-dosa manusia. Aku hanya sedang mencoba mencerna, mungkin reaksi makhluk-makhluk Allah itu terjadi karena ketidakselerasan apa yang manusia ucap dan lakukan dengan apa yang makhluk-makhluk itu ucap dan lakukan. Gunung-gunung, pepohonan, air dan alam seisinya sementara selalu bertasbih dan bertahmid kepada Gusti Allah, sementara manusia selalu ingkar atas nikmat-nikmat yang diberikan oleh Gusti Allah. Jadilah kemudian, tidak selarasnya antara hablun minalLah, hablun minannas dan hablun minal ‘alam. Beliau membenarkan contoh-contoh yang kuberikan…

Begitulah obrolan pagi itu. Hingga, pagi itu aku cuma berkunjung ke beliau karena waktu telah lumayan siang. Sementara perut sudah keroncongan minta sarapan. Lalu aku pamit undur diri dan berpesan, insyaAllah obrolan akan dilanjutkan pada kesempatan mendatang.

Semoga kisah ini menjadi amal saleh abah dan sahabatnya ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau berdua. Menerima semua amal saleh dan memasukkan keduanya ke surga-Nya. Amin. (*)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *