*)Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Dalam tradisi mudik ada satu nilai yang amat besar yang sering tidak disadari oleh sang pemudik. Pemudik dianggap sukses karena setelah melanglang buana sekian lama sehingga pulang membawa sesuatu atau oleh-oleh untuk keluarga dan masyarakatnya. Pulang membawa berkah dipandang berhasil, sehingga membuat pemudik menyadari masa lalunya yang “tak berarti apa-apa” sekarang dipandang “memiliki apa-apa.” Situasi ini ini bisa mengarah kepada bersyukur atau kufur. Bersyukur karena menyadari bahwa perubahan besar hingga memiliki apa-apa merupakan kenikmatan dari Tuhan. Atau juga membuatnya kufur karena dia memiliki apa-apa karena usaha dan kepintarannya.
Berkah Mudik
Tradisi mudik seringkali dipandang mendatangkan berkah bagi keluarga atau warga ketika ada seseorang yang pulang kampung dengan membawa oleh-oleh seteah sekian lama beada di rantau. Tradisi bagi-bagi oleh-oleh berupa jajajan, baik makanan maupun minuman, bagi-bagi duit atau angpau kepada orang tua atau sanak saudara, dipandang sebagai keberhasilan setelah merantau di tempat lain.
Bagi seseorang yang sukses yang merasa bahwa keberhasilannya disebabkan oleh campur tangan Allah yang menolong dirinya sehingga menjadi hamba yang sukses. Dahulunya warga biasa, tak punya apa-apa. Bahkan dia termasuk keluarga miskin. Namun saat ini , dia berubah menjadi pintar, kaya dengan memiliki rumah, mobil dan berbagai kekayaan. Ketika menyadari bahwa karena campur tangan Tuhan sehingga membuatnya sukses, dan hal itu merupakan nilai positif dari tradisi mudik.
Baca juga: Mudik Bersih dari Mubazir dan Dosa
Hal ini berbeda dengan orang yang sukses dan pulang kampung saat mudik. Dia dahulunya biasa dan bahwa tak dihargai karena dipandang yang terlihat memiliki bakat apa-apa. Namun ketika mudik, dia termasuk orang kaya dan sukses sehingga keluarga atau masyarakat menganggap bahwa dia anak yang pinter dan cerdas dalam mencari rizki sehingga sukses seperti ini.
Orang yang merasa rendah hati ketika dipandang berhasil dan sukses karena peran Tuhannya, merujuk pada apa yang diucapkan Nabi Sulaiman ketika dia mendapatkan nikmat berua kekayaaan yang melimpah. Adapun perasaan sombong dan merasa dirinya pintar dan cerdas merupakan representasi Qarun yang merasa kekayaannya disebabkan oleh hasil usaha dan kepintarannya.
Mudik hendaknya muncul kesadaran bahwa kesuksesan seseorang ketika dipandang oleh keluarga dan masyarakatnya semata-mataa karena karnia Allah, bukan justru merasa sombong dengan mengatakan kesuksesan karena usaha dan kepintarannya. (*)
Surabaya, 21 Maret 2025