Muhammadiyah Darurat Salafi

Muhammadiyah Darurat Salafi
*) Oleh : Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jatim & Penulis Buku The Clash of Ideologi Muhammadiyah
www.majelistabligh.id -

Konflik yang melibatkan Ustaz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, Lc, MA, pengasuh Pesantren Darush Shalihin Gunungkidul, dengan kelompok Salafi kembali memunculkan persoalan lama yang belum sepenuhnya selesai di tubuh Muhammadiyah: infiltrasi ideologi Salafisme dalam ruang dakwah persyarikatan. Peristiwa ini tidak layak dibaca sebagai gesekan personal, melainkan sebagai penanda benturan ideologis yang lebih dalam.

Inflitrasi ideologi Salafisme Bergerak Terus di Muhammadiyah

Fenomena ini telah lama dipotret dalam buku The Clash of Ideologi Muhammadiyah karya Dr. Sholikh Al Huda. Di sana ditegaskan bahwa Muhammadiyah tidak hanya berhadapan dengan tantangan eksternal, tetapi juga dengan arus ideologi yang masuk melalui jalur dakwah, pendidikan, dan mimbar keagamaan internal. Inilah yang dalam kajian sosial disebut sebagai traveling ideology: ideologi yang berkelana, menumpang pada institusi yang mapan, lalu berupaya mengakar dan mendominasi.

Salafisme kerap hadir bukan dengan label formal, melainkan melalui bahasa pemurnian, klaim sunnah, dan narasi kembali ke generasi awal Islam. Dalam konteks Muhammadiyah yang terbuka dan rasional, narasi ini mudah menemukan ruang.

Namun persoalan muncul ketika Salafisme membawa watak eksklusif, menafikan ijtihad kontekstual, serta mencurigai tradisi keislaman dan kebangsaan yang selama ini menjadi fondasi dakwah Muhammadiyah.

Belajar Dari Gunungkidul

Kasus yang menyeret nama Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal memperlihatkan bagaimana klaim kebenaran tunggal dapat memicu delegitimasi terhadap manhaj dan otoritas keilmuan di lingkungan persyarikatan. Jika dibiarkan, ideologi yang “menumpang” ini berpotensi memecah jamaah dan menggeser orientasi dakwah dari gerakan pencerahan menuju dakwah yang sempit dan tekstual.

Muhammadiyah: Islam Berkemajuan Bukan Islam Masa Lalu

Di sinilah refleksi Islam Berkemajuan menjadi relevan. Islam Berkemajuan menegaskan bahwa dakwah bukan sekadar soal kemurnian teks, tetapi juga keberpihakan pada kemanusiaan, akal sehat, dan realitas kebangsaan.

Muhammadiyah dituntut waspada, bukan untuk menutup diri dari perbedaan, melainkan untuk menjaga agar keterbukaan tidak berubah menjadi kelengahan ideologis.

Menjaga Muhammadiyah berarti merawat nalar kritis, etika dakwah, dan visi keislaman yang mencerahkan. Alarm ini semestinya dibaca sebagai panggilan untuk kembali meneguhkan jati diri Islam Berkemajuan, Islam yang memajukan, bukan memecah; mencerahkan bukan menegasikan. (*)

Tinggalkan Balasan

Search