Ada banyak cara seorang suami meredakan duka hati istrinya. Teman saya, seorang lelaki yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat, punya cara yang tak biasa namun begitu dalam maknanya.
Setiap kali sang istri larut dalam kesedihan, kecewa, atau diliputi rasa marah terhadap dunia, dia tak langsung menasihati atau menghibur dengan kata-kata manis. Ia justru mengajak istrinya ke rumah sakit.
Bukan untuk berobat. Tapi untuk melihat. Merasakan. Menyaksikan kehidupan dari sisi yang sering kita lupa: penderitaan yang sunyi.
Ia menggandeng tangan istrinya dan berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong rumah sakit umum. Di sana, mereka memasuki ruang perawatan kelas biasa.
Tidak ada harum bunga. Tidak ada musik pengantar tidur seperti di rumah sakit mewah.
Yang ada hanyalah aroma campuran antara obat antiseptik, udara lembap, dan napas berat manusia yang menggantung di sela-sela waktu.
Di ruang itu, ada pasien lanjut usia yang dipenuhi selang di kedua lengannya. Di sisi lain, seorang anak kecil terbaring lemah, tubuhnya kurus, dipenuhi bintik merah. Ibunya duduk di lantai, tertidur bersandar di dinding dengan tangan masih menggenggam tangan mungil anaknya.
Di sudut ruang, terdengar erangan pelan seorang pria yang berusaha menahan rasa sakit tanpa ingin mengganggu yang lain. Mesin infus berdetik perlahan, mengalirkan cairan bening yang menyelamatkan hidup, namun tak menjanjikan kesembuhan segera.
Ada tangisan. Ada doa yang dibisikkan lirih. Ada perawat yang berjalan cepat sambil mendorong troli obat, mencoba mengimbangi jumlah pasien yang jauh lebih banyak dari tenaga medis yang tersedia.
Di sinilah, kata teman saya, hati manusia menjadi jernih kembali. Ketika kita melihat ada yang lebih sengsara dari kita. Lebih kesepian, lebih bergantung pada pertolongan orang lain hanya untuk bisa menarik napas esok hari. Kita diingatkan betapa remehnya luka yang kita kira begitu besar.
Dan benar saja, kata teman saya, setiap kali mereka pulang dari rumah sakit, istrinya tak banyak bicara. Tapi raut wajahnya berubah. Lebih teduh. Lebih lapang.
Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena hatinya kembali menemukan arah: bahwa hidup, meskipun sulit, masih memberi kita nikmat bernapas tanpa alat bantu. Berjalan tanpa kursi roda. Makan tanpa selang. Tidur tanpa rasa nyeri.
Itulah cara ia mengobati patah hati istrinya. Ya, dengan menghadirkannya di hadapan realitas yang tak bisa dibantah: bahwa kesedihan kita sering kali hanya serpihan kecil dari lautan luka manusia lainnya.
***
Cara itu, menurut teman saya, adalah cara paling tepat untuk mengingatkan manusia agar selalu bersyukur.
Ketika kita berada dalam pusaran keluhan, amarah, atau rasa tidak puas, melihat langsung penderitaan orang lain menjadi cermin yang memantulkan kenyataan hidup: bahwa kita masih jauh lebih beruntung dari banyak orang.
Menyaksikan seseorang berjuang untuk sekadar bernapas, menahan nyeri hari demi hari, atau menanti dengan harap cemas hasil pemeriksaan dokter, membuat keluhan kita terasa kecil, bahkan tak pantas.
Allah SWT menegaskan pentingnya sikap syukur dalam Al-Qur’an. Dalam Surah Ibrahim ayat 7, Allah berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Ayat ini bukan sekadar janji, tetapi juga pengingat bahwa syukur adalah kunci bertambahnya nikmat.
Dan sering kali, untuk bisa bersyukur, manusia perlu disadarkan. Bukan dengan nasihat panjang, tapi dengan pengalaman batin yang menggugah.
Melihat penderitaan di rumah sakit bukan hanya membuat kita sadar akan nikmat kesehatan, tetapi juga mengajak kita merenungi betapa lemahnya manusia tanpa pertolongan Allah.
Rasulullah saw pun bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah darimu dan jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Karena yang demikian itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.” (HR. Muslim, no. 2963)
Hadis ini sejalan dengan prinsip yang dijalani teman saya. Ia tidak membawa istrinya ke tempat mewah atau melihat orang-orang sukses untuk membandingkan nasib.
Dia justru mengajak istrinya menunduk. Melihat ke bawah, pada mereka yang sedang diuji berat, agar hati mereka naik menuju kesadaran yang tinggi.
Dengan cara itu, syukur bukan lagi teori, tetapi pengalaman langsung. Dan dalam syukur yang lahir dari hati yang tersentuh, lahirlah ketenangan. Karena orang yang bersyukur, sesungguhnya sedang menyembuhkan jiwanya sendiri.
Dan di antara lorong rumah sakit yang sunyi itu, suami istri itu menemukan sesuatu yang jauh lebih bernilai dari sekadar obat: sebuah pelajaran hidup bahwa luka bisa jadi pintu menuju kedamaian—jika kita melihatnya dengan hati yang bersyukur.
***
Dalam hidup, kita tak bisa menghindari luka, kekecewaan, atau air mata. Namun sering kali, yang kita butuhkan bukanlah pelarian, melainkan pengingat.
Bukan pelipur sesaat, tetapi cahaya kecil yang menuntun hati agar kembali mengenali nikmat yang tersisa.
Teman saya tidak menyembuhkan istrinya dengan kata-kata indah, tetapi dengan kenyataan.
Dia menunjukkan bahwa di balik duka yang kita rasa, masih ada orang lain yang menanggung beban lebih berat dengan ketabahan luar biasa.
Dan dari sana, kita belajar satu hal penting: bahwa bersyukur bukanlah sikap mereka yang tak punya masalah, melainkan pilihan mereka yang tahu cara melihat hidup dari sisi yang lebih dalam.
Maka, jika suatu hari hatimu terasa patah, mungkin yang kamu butuhkan bukan pelarian.
Tapi perjalanan sunyi ke lorong-lorong kehidupan, di mana luka-luka manusia lain mengajarkan kita betapa berharganya nikmat yang masih kita genggam.
Karena terkadang, obat terbaik untuk hati yang rapuh… adalah menyaksikan bagaimana orang lain tetap bertahan, bahkan ketika segalanya terasa hilang. (*)

kalau sakit ya dibawa ke dokter biar disembuhkan apapun itu sakitnya
karena dokter jumlah dan spesialisasi bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan yang sakit