Di bawah cahaya rembulan yang menyinari Tugu dan angin malam Yogyakarta berhembus lirih dengan mendung bergayut, terbawa pula bisik-bisik keresahan para demonstran tentang negeri yang kian dipenuhi kabut busuk dari pejabat mabuk kuasa dan moral yang runtuh tanpa malu.
Di jalanan, ribuan massa berteriak dengan suara lantang mengguncang langit Yogyakarta. Teriakan itu bukan lagi sekadar protes, melainkan jerit hati anak bangsa yang letih melihat negeri dijadikan dagangan oleh mereka yang berwajah senyum namun bertangan rakus.
Kehadiran Sang Raja di Tengah Demonstran
Di tengah riuh itu, dini hari menjelang Sabtu (30/8), Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X turun langsung menemui massa aksi yang sejak Jumat sore bertahan di jalanan. Sultan tidak hanya hadir, tetapi juga berbicara di hadapan demonstran, berjanji akan menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah pusat. Kehadirannya sontak menyedot perhatian: sebuah pemandangan langka, ketika seorang pemimpin daerah, apalagi seorang Raja, memilih hadir di tengah rakyat yang bergejolak ketimbang bersembunyi di balik pagar istana.
Langkah Sultan segera mengundang apresiasi. Banyak yang menilai, keberanian turun langsung itu menjadi contoh pemimpin yang mau mendengar. Di tengah gelombang krisis kepercayaan publik terhadap pejabat, Sultan seolah menghadirkan secercah keteladanan: pemimpin bukan hanya sosok yang berbicara dari podium, tetapi juga telinga yang hadir di tengah rakyatnya.
Namun, di balik apresiasi itu, terdapat lapisan pertanyaan yang lebih dalam: apa makna kehadiran Sultan tersebut? Apakah pertemuan itu akan berbuah kebijakan nyata, ataukah hanya berhenti sebagai simbol untuk meredakan amarah sesaat?
Dalam sejarah politik Indonesia, tidak jarang kita menyaksikan momen-momen dramatis ketika penguasa turun langsung ke tengah rakyat. Gambarannya heroik, gemuruh sorak massa pun mengiringi. Akan tetapi, setelah sorak berhenti, sering kali yang tersisa hanyalah janji yang menguap, sementara akar masalah tetap tak tersentuh. Rakyat kembali menghadapi kenyataan pahit: sistem yang timpang, pejabat yang rakus, dan kebijakan yang tak kunjung berpihak.
Sultan Hamengku Buwono X memang memiliki posisi istimewa. Ia bukan hanya Gubernur, melainkan juga simbol budaya dan spiritual Yogyakarta. Setiap langkahnya selalu dibaca bukan sekadar politik, melainkan juga etika kepemimpinan Jawa yang sarat makna. Maka, ketika beliau menemui demonstran, publik tentu berharap lebih dari sekadar penyaluran aspirasi. Mereka menginginkan keberpihakan nyata, sikap tegas, dan tindakan yang konsisten.
Penyampaian Aspirasi dari Kekecewaan
Justru di titik inilah kritik patut diarahkan. Janji menyampaikan aspirasi adalah langkah awal, tetapi bukan titik akhir. Sebab rakyat sudah terlalu sering dikecewakan oleh janji yang indah di mulut, tetapi mandul dalam kenyataan. Apa arti menyampaikan aspirasi jika pada akhirnya Pemerintah pusat tetap tuli dan kebijakan tetap menindas rakyat? Apa artinya hadir di jalanan bila tidak diikuti dengan keberanian bersuara lantang membela rakyat di meja kekuasaan?
Sultan, dengan segala wibawanya, memiliki ruang yang tidak dimiliki kepala daerah lain. Ia bisa bersuara keras tanpa takut kehilangan kursi karena kedudukannya istimewa. Maka, rakyat berhak menagih lebih dari sekadar ”saya akan sampaikan ke Pemerintah”. Rakyat menghendaki pemimpin yang tidak hanya menjadi perantara, melainkan pembela.
Jika pertemuan dini hari itu hanya berhenti pada citra, maka sejarah akan mencatatnya sebagai simbol yang indah tapi hampa. Sebaliknya, bila Sultan benar-benar menggunakan kewibawaan politik dan moralnya untuk menekan Pemerintah pusat agar berpihak kepada rakyat, maka momen itu bisa menjadi tonggak baru teladan kepemimpinan.
Negeri ini akan terasa terlalu kecil apabila hanya diurus oleh para pemimpin yang zalim terhadap rakyatnya, yang melihat kekuasaan semata sebagai alat untuk menekan, bukan mengayomi. Elit politik yang tidak mengerti kondisi kebatinan rakyat yang setiap hari kian dibuat geram oleh pernyataan tidak pro-rakyat dan kebijakan yang memberatkan, sesungguhnya sedang mempersempit ruang hidup bangsa sendiri.
Sebab, ketika rakyat diperlakukan semata sebagai objek yang harus tunduk, sementara suara mereka diabaikan, maka yang lahir adalah jurang kepercayaan yang semakin lebar. Kebijakan yang seharusnya menjadi jembatan kesejahteraan justru berubah menjadi tembok pemisah antara penguasa dan yang dikuasai. Di titik inilah, negeri sebesar apa pun akan terasa ”terlalu kecil” untuk menampung kemarahan rakyat yang kian hari kian terpinggirkan.
Harapan akan Sikap Politik
Apa yang terjadi di Yogyakarta pada akhir Agustus itu hanyalah potret kecil dari kegelisahan bangsa yang lebih luas. Jerit rakyat bukan hanya soal satu kebijakan, melainkan akumulasi kekecewaan terhadap rezim yang makin jauh dari amanat konstitusi. Di titik ini, kehadiran Sultan di tengah demonstran menjadi cermin: betapa rakyat merindukan pemimpin yang mau mendengar, mau hadir, dan berani berpihak.
Namun, harapan tidak boleh berhenti di jalan. Harapan harus diterjemahkan dalam kebijakan yang melindungi rakyat, dalam sikap politik yang konsisten membela kepentingan publik, dan dalam keberanian moral untuk melawan arus kekuasaan yang korup. Sultan Hamengku Buwono X, dengan posisi uniknya, bisa menjadi simbol sekaligus motor perubahan itu, asal tidak berhenti pada simbol semata.
Rakyat Yogyakarta, yang malam itu bersorak saat Sultan hadir, tentu akan lebih bersorak jika suatu hari mereka menyaksikan bahwa kehadiran itu benar-benar berbuah perubahan. Dan bagi bangsa ini, mungkin itulah secercah cahaya yang kita nantikan di tengah kabut busuk kekuasaan yang kian pekat.
Bahwa Yogyakarta sedang memberi pelajaran kepada Indonesia: suara rakyat tidak boleh diremehkan, apalagi dianggap sekadar riuh jalanan yang akan padam dengan sendirinya. Kehadiran Sultan Hamengku Buwono X menemui demonstran adalah simbol bahwa keresahan sudah mencapai titik serius. Jika bahkan seorang pemimpin tradisional sekaligus Gubernur istimewa merasa perlu turun tangan, maka jelas ada kegentingan yang tak bisa lagi diabaikan.
Jika elit politik tetap tuli dan hanya menganggapnya sebagai kejadian sesaat, mereka sedang menutup mata terhadap gelombang yang lebih besar. Lonceng tanda bahaya telah berdentang keras dari Yogyakarta. Sebuah peringatan bahwa jarak antara penguasa dan rakyat semakin melebar dan krisis kepercayaan semakin dalam. Mengabaikannya hanya akan membuat Republik ini berjalan menuju jurang yang lebih terjal.
