Tauhid merupakan misi agung yang selalu menjadi inti ajaran para nabi dan rasul. Tujuan pokoknya adalah menegakkan pengakuan bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Namun, penegakan tauhid bukanlah tugas yang mudah.
Di sepanjang sejarah dakwah, tantangan terbesar justru muncul dari dalam diri manusia yang begitu terikat dengan kesenangan dunia. Kekayaan, kemewahan, serta kedudukan telah menjadikan banyak orang berpaling dari dakwah para nabi, menolak ajakan menuju keesaan Allah, dan memilih bersandar pada pamrih duniawi. Bahkan, godaan itu dapat menyentuh orang-orang terdekat para nabi sendiri, seperti para istri Nabi Muhammad yang sempat tergoda untuk menuntut kelapangan hidup duniawi.
Penegakan Tauhid
Para nabi dan rasul selalu menyampaikan risalah tauhid kepada masyarakat yang telah tenggelam dalam kekafiran dan kesyirikan. Namun, mayoritas pengikut kekayaan dunia melihat dakwah tauhid sebagai ancaman terhadap dominasi mereka.
Fir’aun dalam kisah Nabi Musa, kaum Tsamud dalam dakwah Nabi Shaleh, dan para pembesar Quraisy pada masa Nabi Muhammad adalah contoh nyata. Orang-orang yang kaya raya merasa bahwa kepentingan dunia mereka akan terganggu bila ajaran tauhid tegak, sebab tauhid menyerukan keadilan, menolak penghambaan kepada manusia, dan menghancurkan struktur kekuasaan yang timpang.
Kaum musyrik Quraisy adalah potret yang paling dekat dengan umat ini. Abu Lahab, Abu Jahal, dan pemuka kaum Quraisy menolak ajaran tauhid bukan karena ketidakmampuan memahami kebenarannya, tetapi karena kesombongan dan rasa takut kehilangan status sosial. Mereka hidup bergelimang harta yang mengalir dari pusat-pusat perdagangan dan ritual penyembahan berhala di Makkah.
Dengan adanya dakwah tauhid, sumber keuntungan mereka terancam. Mereka pun memusuhi Nabi, menghalangi dakwahnya, bahkan menyiksa para sahabat yang lemah. Untuk merespon hal itu, Allah memperingatkan seluruh manusia agar tidak tertipu oleh gemerlap dunia yang fana, sebagaimana firman-Nya :
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَا خْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِيْ وَا لِدٌ عَنْ وَّلَدِهٖ وَلَا مَوْلُوْدٌ هُوَ جَا زٍ عَنْ وَّا لِدِهٖ شَيْــئًا ۗ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا ۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِا للّٰهِ الْغَرُوْرُ
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman : 33)
Ayat ini menegaskan bahwa genggaman dunia begitu kuat hingga membuat sebagian manusia rela menolak kebenaran yang nyata. Hanya mereka yang istikamah dan bersandar pada tauhid yang mampu melawan derasnya arus duniawi tersebut.
Godaan Dunia
Dunia memiliki kelezatan yang memikat. Ia tampak hijau, indah, dan memanjakan mata sehingga dapat menenggelamkan manusia dalam kesibukan mengejarnya. Tidak hanya rakyat jelata atau para penguasa yang terpengaruh, bahkan perempuan-perempuan terbaik, para istri Nabi Muhammad pernah diuji dengan perkara dunia.
Kisah yang terekam dalam Al-Qur’an menunjukkan bagaimana sebagian dari istri beliau menginginkan kelapangan nafkah yang lebih besar. Mereka sepakat untuk meminta perhiasan duniawi yang lebih banyak. Padahal, kehidupan keluarga Rasulullah sangat sederhana dan jauh dari kemewahan. Tuntutan itu menjadi pelajaran besar mengenai kuatnya daya tarik dunia, sehingga Allah menurunkan ayat yang memberikan pilihan tegas, sebagaimana firman-Nya :
يٰۤـاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَا جِكَ اِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا فَتَعَا لَيْنَ اُمَتِّعْكُنَّ وَاُ سَرِّحْكُنَّ سَرَا حًا جَمِيْلًا
“Wahai nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab : 28)
Ayat ini menjadi ujian berat, sekaligus tamparan lembut bagi mereka bahwa misi kenabian tidak sejalan dengan gemerlap kesenangan dunia. Pilihannya jelas, dunia dengan perceraian atau akhirat bersama Rasulullah dalam kesederhanaan namun penuh kemuliaan.
Para istri Nabi akhirnya memilih untuk tetap hidup bersama beliau dan menjaga kehormatan dakwah. Pilihan mereka menjadi teladan mulia bahwa keimanan perlu diuji, bahkan pada keluarga para nabi. Harta bukan ukuran kemuliaan. Kesabaran dan kerelaan meninggalkan ambisi dunia justru menjadi bukti ketinggian akhlak mereka.
Tauhid selalu menuntut keberanian dan keistikamahan. Para nabi telah menghadapi raja-raja angkuh, para pembesar kaya yang congkak, bahkan godaan dari keluarga sendiri. Dunia memang menggoda, tetapi ia tidak lebih dari persinggahan sementara.
Mereka yang menegakkan tauhid telah memilih jalan yang mengangkat martabat manusia, yakni hidup untuk tujuan yang lebih besar daripada harta dan perhiasan dunia. Perjuangan menegakkan tauhid akan terus berlanjut, dan setiap muslim diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari barisan orang-orang yang teguh di atas keesaan Allah, hingga kelak mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya. (*)
Surabaya, 28 Oktober 2025
