Perang Pengaruh 2025: Mesin Bot, Influencer Politik dan Runtuhnya Rasionalitas Publik

Perang Pengaruh 2025: Mesin Bot, Influencer Politik dan Runtuhnya Rasionalitas Publik
*) Oleh : Nashrul Mu'minin
Content Writer Yogyakarta
www.majelistabligh.id -

Perang pengaruh politik pada tahun 2025 semakin memperlihatkan bagaimana ruang digital tidak lagi berfungsi sebagai arena diskusi rasional, tetapi berubah menjadi medan manipulasi opini yang sangat terstruktur. Masalah utama dalam dinamika ini adalah dominasi algoritma, bot otomatis, dan influencer berbayar yang membentuk persepsi publik tanpa transparansi.

Politik tidak lagi disusun berdasarkan gagasan, tetapi berdasarkan strategi viral, klik, dan impresi. Akibatnya, masyarakat kehilangan kemampuan membedakan mana informasi, mana propaganda, dan mana manipulasi.

Isu yang paling menonjol adalah penggunaan masif mesin bot yang bekerja 24 jam untuk memperkuat narasi politik tertentu. Bot tidak sekadar menyebarkan informasi, tetapi secara sistematis membentuk wacana publik dengan menciptakan ilusi mayoritas palsu. Ketika sebuah opini terlihat dominan di linimasa, publik cenderung menganggapnya sebagai kebenaran kolektif. Padahal, sebagian besar hanya hasil automasi. Fenomena ini menurunkan kualitas deliberasi publik dan mencabut kemampuan masyarakat untuk berpikir otonom.

Selain bot, influencer politik menjadi aktor yang sangat menentukan. Mereka memanfaatkan kedekatan psikologis dengan pengikutnya untuk menyisipkan orientasi politik yang sering kali tidak diungkapkan secara jujur. Persoalan muncul ketika keterlibatan politik influencer tidak diatur secara etis, sehingga opini yang tampak personal sebenarnya adalah promosi politik terselubung. Publik yang tidak sadar dengan struktur kekuasaan digital akhirnya terseret dalam preferensi politik yang dibentuk melalui kedekatan emosional, bukan argumentasi.

Tujuan dari praktik-praktik ini jelas: memenangkan narasi. Di era ketika viral lebih menentukan daripada visi politik, setiap pihak berlomba-lomba merebut atensi publik dengan strategi digital yang lebih agresif. Tujuan lain yang lebih tersembunyi adalah mengalihkan publik dari isu substansial seperti korupsi, kebijakan publik yang keliru, atau ketidakmampuan institusi. Perang pengaruh digital menjadi alat untuk mengalihkan fokus, menciptakan kebisingan, dan melemahkan kesadaran kritis.

Hasil dari kondisi ini adalah merosotnya rasionalitas publik. Masyarakat semakin terpolarisasi dan terjebak dalam gelembung informasi (echo chamber) yang memperkuat prasangka masing-masing. Ketika diskusi politik tidak lagi berbasis data, masyarakat terpecah tidak hanya secara ideologis, tetapi juga secara epistemologis: setiap kelompok punya “kebenarannya sendiri.” Hal ini mengancam stabilitas sosial dan kualitas demokrasi jangka panjang.

Fenomena ini juga menciptakan politik sensasi, di mana skandal kecil sering kali menjadi isu nasional hanya karena mudah diviralkan. Sementara itu, persoalan penting yang membutuhkan kajian mendalam justru tidak mendapat perhatian. Politik akhirnya terdegradasi menjadi drama harian yang dikonsumsi cepat lalu dilupakan. Rasionalitas dan kebijakan berbasis bukti kehilangan tempat dalam hiruk-pikuk politik digital.

Tindakan yang perlu dilakukan adalah membangun literasi digital yang kuat. Masyarakat harus dibekali kemampuan untuk mengidentifikasi bot, propaganda algoritmik, dan iklan politik terselubung. Pemerintah dan lembaga independen juga perlu menerapkan regulasi yang transparan terkait sponsor politik digital, termasuk kewajiban labelisasi konten berbayar. Tanpa itu, publik akan terus menjadi korban dominasi informasi yang tidak jujur.

Selain regulasi, penting bagi media arus utama untuk kembali menegakkan jurnalisme verifikasi. Media harus menjadi penyeimbang terhadap kekacauan informasi digital dengan menyediakan laporan berbasis fakta yang kuat. Tanpa media yang independen, ruang publik akan semakin dikuasai oleh mereka yang paling banyak membeli pengaruh digital, bukan mereka yang membawa gagasan terbaik.

Di tingkat masyarakat, diperlukan gerakan pendidikan kritis yang mampu menciptakan kultur berpikir rasional dalam menghadapi arus informasi. Komunitas, kampus, dan organisasi masyarakat sipil harus mengambil peran aktif dalam memperkuat kesadaran kritis. Politik digital tidak mungkin dihentikan, tetapi dapat dikawal agar tidak merusak kualitas demokrasi.

Pada akhirnya, perang pengaruh 2025 mengajarkan bahwa demokrasi tidak hanya dipertaruhkan di ruang parlemen, tetapi juga di layar ponsel setiap warga negara. Ketika publik mampu berpikir kritis, informasi manipulatif kehilangan kekuatannya. Namun ketika rasionalitas runtuh, politik menjadi arena yang mudah direkayasa oleh mesin bot dan influencer. Masa depan demokrasi ditentukan oleh bagaimana masyarakat mengelola informasi, menolak manipulasi, dan mempertahankan kebebasan berpikir yang sehat. (*)

Tinggalkan Balasan

Search