Perempuan dan Difabel dalam Krisis Iklim, Meneguhkan Peran di Tengah Ketimpangan

www.majelistabligh.id -

Eco Bhinneka Muhammadiyah kembali mengadakan diskusi publik edisi kedua dengan tema “Perjuangan Perempuan Pembela Tanah Air.” Acara ini digelar sebagai persiapan jelang agenda Walk for Peace and Climate Justice, dengan tujuan menggali lebih dalam hubungan perempuan dengan tanah air, sekaligus tantangan berat yang mereka hadapi, terutama bagi perempuan penyandang disabilitas. Selain itu, diskusi ini juga mengupas peran penting perempuan dalam mendorong perubahan sosial yang lebih adil dan inklusif.

Dalam diskusi tersebut, ada dua narasumber kece yang hadir: Dati Fatimah, seorang peneliti dan konsultan gender, serta Nurhayati Ratna Sari Dewi, Sekretaris III Himpunan Difabel Muhammadiyah (HIDIMU) Pusat. Mereka ditemani moderator keren dari HIDIMU, Pritty Dwi Arlista.

Dati Fatimah memulai dengan mengajak peserta merenungkan semangat Iduladha lewat kisah Siti Hajar. Menurutnya, perjuangan Siti Hajar menjaga kehidupan itu adalah bentuk jihad yang sangat relevan buat perempuan zaman sekarang, apalagi di tengah krisis iklim yang makin berat.

“Jihad Siti Hajar adalah jihad menjaga kehidupan. Ini bukan soal perang fisik, tapi menjaga pangan dan air untuk keluarga sehari-hari. Hal ini ternyata juga ada di berbagai agama dan kepercayaan lain,” jelas Dati.

Ia juga menekankan bahwa isu perubahan iklim bukan cuma soal lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial dan keberlangsungan hidup terutama untuk kelompok yang rentan. Dari data World Meteorological Organization, lebih dari 184.000 jiwa meninggal dunia akibat cuaca ekstrem antara 2010 hingga 2019. Di Indonesia sendiri, banjir, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem jadi bencana yang sering muncul sampai tahun 2024. Nah, perempuan dan penyandang disabilitas jadi yang paling terdampak.

Dati juga cerita tentang risetnya di Tambaklorok dan Ogan Komering Ilir pada 2018. Ia menemukan bahwa perempuan harus menanggung beban berlapis mulai dari mengatur konsumsi pangan, air, energi, hingga keuangan keluarga di tengah tekanan krisis iklim. Oleh karena itu, ia sangat mengajak anak muda, terutama generasi Z yang makin peduli lingkungan, untuk jadi agen perubahan dengan aktivisme yang adil dan partisipatif.

Sementara itu, Nurhayati Ratna Sari Dewi angkat bicara soal perempuan penyandang disabilitas yang sering menghadapi diskriminasi ganda.

“Kami harus melawan stigma sebagai perempuan dan difabel sekaligus. Ini bikin akses ke pendidikan, pekerjaan, dan ruang publik jadi sangat terbatas,” ujarnya.

Nurhayati pun menjelaskan berbagai jenis disabilitas, mulai fisik, intelektual, mental, hingga sensorik, bahkan disabilitas psikososial yang kerap diabaikan dalam dunia kerja dan layanan publik. Ia juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang ramah disabilitas, seperti adanya pelatihan dengan pendampingan psikososial, kerja dari rumah, dan jam kerja fleksibel. Menurutnya, ini adalah bentuk akomodasi yang nyata dan inklusif.

Selain itu, Nurhayati menyoroti soal akses transportasi publik yang ramah disabilitas.

“Kalau transportasi umum aksesibel, mobilitas kami jadi lebih mudah dan itu tanda negara hadir untuk semua warga. Ruang partisipasi kami pun makin terbuka,” tegasnya.

Keren banget, kan? Perempuan dan penyandang disabilitas yang selama ini sering luput dari perhatian ternyata justru jadi penjaga kehidupan, menjaga tanah dan air lewat ketangguhan mereka sehari-hari. Mereka bukan cuma bertahan, tapi juga menggerakkan perubahan sosial yang adil dan inklusif demi masa depan bumi yang lebih lestari.

Acara ini diikuti sekitar 30 peserta dari berbagai organisasi pemuda lintas iman dan komunitas penyandang disabilitas. Sepekan setelah diskusi, mereka bakal ikut sosialisasi cara berinteraksi dengan kelompok difabel, dan minggu berikutnya siap mengikuti agenda Walk for Peace and Climate Justice.

Diskusi ini juga bagian dari program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism), sebuah inisiatif keren dari Eco Bhinneka Muhammadiyah untuk menguatkan kapasitas pemuda lintas iman dalam menggabungkan nilai spiritual, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. (*/tim)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Search