Perjalanan spiritual anak bagi seorang bapak seringkali tidak pernah terduga. Sang bapak hanya berdoa dan berupaya agar anaknya memiliki spiritualitas yang tinggi dengan akhlaq yang agung. Hal ini sebagaimana dialami sebuah keluarga terdidik yang menginginkan putra putrinya menjalani kehidupan pondok, dan itu terbukti dimana anak-anaknya mau menjalani pendidikan di pondok.
Perubahan spiritual terjadi dimana salah putrinya lulus dari pondok dengan kemampuan bahasa yang bagus dan menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 juz. Yang mengagetkan sang bapak, putrinya berhasil lulus Pendidikan setingkat Strata satu (S1) hingga akhirnya memberanikan pergi ke Madinah Al-Munawwarah dengan harapan bisa menempuh pendidikan magister (S2). Pelepasan sang putri pun dilakukan dengan mengantarkan ke bandara dari Jakarta. Keteguhan hati sang bapak pun diuji setelah kepergian putri kesayangannya.
Perjalanan Spiritual
Kisah ini merekam perjalanan batin seorang ayah, yang memiliki putri sulung dengan kemampuan menghafal 30 juz, lulusan pondok dengan kemampuan bahasa arab yang baik. Dia pun melanjutkan kuliah di kampus berbahasa Arab hingga lulus. Setelah lulus pun langsung terjun di bidang dakwah. Mengisi kajian dan tausiyah yang focus pada ibu-ibu dan remaja.
Seiring dengan waktu, kajian dari satu tempat ke tempat lain berjalan, dan banyak permintaan untuk mengisi kajian baik pekanan, bulanan atau insidentil. Dia pun menunai hasil belajar di pondok dan kampus, serta dipanggil ustadzah. Di tengah kesibukan kajian yang padat, dia harus terbang ke Madinah dengan dua keinginan, bertemu suami, dan melanjutkan pendidikan jenjang S2.
Jemaah pun merasa gembira dan duka. Gembira karena bisa belajar di tanah yang penuh keberkahan. Duka karena harus terhenti kajian yang penuh dengan nuansa pembersihan hati dan menambah wawasan keagamaan. Jemaah pun berdatangan ke rumahnya untuk menyampaikan sesuatu. Rumah itu ramai sejak pagi. Satu per satu jemaah datang membawa kue, buah tangan, amplop, juga titipan cerita.
Ada yang bertanya lirih, “Ustadzah, siapa yang akan menggantikan kajian kami?” Ada yang menangis, menahan sesak di tenggorokan saat menyalami guru muda yang biasa menjelaskan ayat dengan suara beningnya. Putri itu tersenyum tenang. “Ilmu milik Allah. Insya Allah, Allah akan hadirkan yang lebih baik,” ucapnya,
Narasi ini membuat sang ayah terharu sekaligus sedih bercampur senang. Terharu karena putrinya yang masih tergolong muda bisa membuat jemaahnya kagum atas tausiyahnya. Sedih bercampur senang karena suatu hari akan berpisah dengannya.
Bagi sang ayah, putrinya bukan sekadar anak cerdas. Ia cahaya kecil yang sejak remaja ditempa pondok, dibangunkan tahajud, dilatih sabar dan amanah. Cita-citanya pun pernah terungkap bahwa selesai kuliah, dia ingin punya pondok, bisa menempuh pendidikan hingga jenjang Doktor. Cita-cita itu pun sepertinya menunggu waktu. Setelah lulus S1 dia pun mengisi berbagai kajian di berbagai tempat. Jadual dakwahnya pun padat; jemaahnya semakin banyak di kota-kota dan sesekali di luar kota.
Namun ketika undangan datang dari Madinah. Kebetulan suaminya sedang menyelesaikan kuliah di Universitas Madinah setingkat S1 pun mendorongnya untuk kuliah S2 di kota Nabi. Bagi dia, hal ini bukan sekadar undangan akademik, tapi panggilan ruhani. Ia memilih berangkat dengan risiko meninggalkan jemaahnya yang sudah senang mendengar kajiannya. Dia pun menikmati berbagai fasilitas setelah mengisi kajian.
“Belajarlah ke kota Nabi, temui suamimu, dan sempurnakan amanah ilmu,” kata ayahnya akhirnya. Berat mengucapkan kata-kata itu, namun panggilan Ilahi untuk berjihad di jalan Allah telah terpatri dalam diri sang putri. Sang ayah pun menegaskan dengan mengutip ayat Al-Qur’an yang terucap berikut :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَࣖ
Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Al-‘Ankabut: 69)
Sang ayah yakin bahwa perjalanan spitirual dan akademik ke tanah suci akan mendapat jalan terbaik atas bimbingan-Nya. Meski dalam mengucapkan itu amat berat di hati. Namun melihat cita-cita agung sang putri, maka ayah pun menguatkan hatinya untuk merelakan putrinya terbang ke tanah suci.
Perjalanan mobil menuju bandara terasa cepat. Waktu perpisahan pun terlihat cepat. Tol yang biasanya dipenuhi kendaraan dan macet, kali ini lancar hingga sampai bandara lebih cepat dari yang diperkirakan. Sang ayah yang dulu mengantar, menjenguk, menjemput dari pondok, kini harus teguh hati melepaskan putrinya yang dicita-citakan menjadi dosen dengan kemampuan bahasa arab yang excellent. Melepaskan bukan untuk kehilangan, melainkan untuk menaikkan derajat di sisi Allah. Ia mengulang-ulang doa, menahan air mata, dan detak hati yang terasa berat untuk berpisah.
Di bandara, pelukan terasa lebih lama. Aroma parfum putrinya—aroma yang ia kenal sejak hari-hari padat kajian—menggantung di udara. “Belajarlah sungguh-sungguh. Jangan lupa doakan ayah-ibu di tiap sujud,” ucapnya. Putrinya mencium tangan, memeluk erat, lalu melangkah. Sang ayah bersama keluarga menunggu terbangnya pesawat Saudi Airlines, meski tak melihat langsung. Jam menunjukkan pukul 13.45 hari Ahad 5 Oktober pesawat menuju Madinah diyakini telah terbang. Namun ayah dan keluarga yang mengantar belum beranjak pulang.
Keteguhan Hati
Sepulang dari bandara, rumah seolah menyimpan gema langkah yang tak lagi ada. Sajadah di kamar putrinya masih terhampar, mushaf saku terbuka pada halaman yang sama. Ayah pun berdiri, dan duduk menatap kamar yang biasanya ditiduri putrinya, namun saat ini kosong. Pada saat inilah ayat Al-Qur’an yang biasa terbaca terngiang-ngiang :
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.(QS. Al-Kahfi : 46)
Ayah itu memahami putrinya merupakan amanah dan titipan Allah. Dan titipan terbaik dikembalikan kepada Allah untuk menjaga dan berserah diri. Jalan paling mulia dengan mempelajari ilmu di tanah suci diyakini akan membawa berkah pada keluarga, agama dan negaranya. Kalau mengingat ayat tentang anak, hatinya ingat sang putri yang senantiasa memuraja’ah hafalannya di kamar arau ruang tamu.
Demikian pula ketika membuka surah Yusuf, kenangan Nabi Ya‘qub yang kehilangan Yusuf menajamkan empatinya. Rasa berat hati itu sah-sah saja, tetapi tidak dibiarkan merusak tawakal. Ia mengubah rindu menjadi doa yang berjalan pelan sepanjang hari. Di sela-sela mengajar dan bercengkerama dengan keluarga, kolega, dan jamaah masjid tak terasa menetes air mata. Hal itu karena mengingat sang putri yang baru saja berpisah.
Pada malam-malam yang hening, sang ayah menjemput ayat-ayat yang menguatkan hasrat untuk tetap ridha. Tentang derajat yang ditinggikan bagi penuntut ilmu dan pejuang di jalan Allah, tentang rezeki yang datang dari pintu yang tak disangka. Ia memeluk firman-Nya sebagaimana seorang pendaki memeluk tali pengaman di tebing curam. Dan setiap kali ia mengingat betapa putrinya menjadi keselamatan bagi keluarganya, terutama sebagai anak perempuan yang diajari agama, sang ayah merasa dipayungi Kalam Allah.
Pada saat itulah, ayah mengingat firman Allah yang agung yang mengingatkan bahwa putrinya diharapkan menjadi anak yang menyejukkan mata dan mengokohkan hati. Hal ini selalu terngiang-ngiang di benaknya sebagaimana gambaran Al-Qur’an sebagai berikiut :
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-Furqan: 74)
Sebagai pengajar, ayah melanjutkan rutinitas mengajar, membimbing, dan menulis. Namun ada yang berbeda dalam cara ia menatap mahasiswa, seperti melihat anak-anak yang suatu hari akan ia lepaskan juga, satu per satu. Ia mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar catatan kaki di jurnal, tetapi akhlak yang mengangkat derajat. Pada akhir kuliah, ia sering menutup dengan pesan yang dulu ia bisikkan di bandara: “Belajarlah sungguh-sungguh, dan jangan lupa doakan orang tuamu di tiap sujud.”
Rindu tetap datang, terutama saat ponsel menyala menampilkan pesan dari Madinah, seperti foto rak buku perpustakaan, coretan catatan kuliah, atau suara lembut putrinya mengulang hafalan. Rindu itu tidak lagi menyiksa, tetapi menenangkan. Sejenis rindu yang memantulkan keyakinan bahwa jarak adalah kurikulum Allah untuk hati yang ingin matang.
Pada akhirnya, ia menamai perpisahan ini sebagai “kelanjutan cinta”. Cinta yang dulu mengantar ke pondok, kini mengantar ke kota Nabi. Cinta yang dulu berwujud pelukan, kini berwujud doa panjang di sepertiga malam. Dan cinta itu, bila dibimbing Al-Qur’an, selalu menemukan jalan pulang yang paling damai.
Surabaya, 7 Oktober 2025.
