Permainan Sopan Santun yang Pura-Pura

*) Oleh : M. Mahmud
Ketua PRM Kandangsemangkon Paciran Lamongan Jawa Timur
www.majelistabligh.id -

Permainan sopan santun yang pura-pura bisa dibaca sebagai fenomena sosial di mana orang menampilkan sikap santun, ramah, atau hormat, tetapi hanya di permukaan, tanpa ketulusan.

Rasa hormat itu bukan siapa kamu, tapi apa yang bisa kamu beri, nilai dirimu dihitung dari manfaatmu, bukan dari jiwamu. Ironis ya, bagaimana manusia pandai menyusun tata krama, tapi bukan karena luhur, tapi karena perlu.

Katanya saling menghargai, tapi seringkali itu hanya strategi, selama ada untung, semua hangat dan manis. Tapi coba hilang salah satu kepentingan saja tiba tiba jadi asing, bahkan tidak segan meremehkan. Begitulah dunia bekerja, penuh senyum palsu yang tergantung situasi dan kita semua pernah jadi pelaku, pernah jadi korban dalam permainan sopan santun yang pura-pura.

Makna dan Konteks
Sopan santun sejati: lahir dari hati, berakar pada fitrah manusia untuk menghormati sesama. Sopan santun pura-pura: lebih mirip “topeng sosial”, digunakan untuk kepentingan tertentu —misalnya mencari keuntungan, menjaga citra, atau menghindari konflik. Permainan: istilah ini menekankan bahwa perilaku tersebut sering dilakukan secara sadar, terstruktur, bahkan seperti strategi dalam interaksi sosial.

Dampak
Positif semu: hubungan tampak harmonis, konflik bisa ditekan sementara.

Negatif mendalam: menumbuhkan ketidakpercayaan, melemahkan keikhlasan, dan bisa merusak budaya saling menghormati.

Perspektif Qur’ani
Dalam Al-Qur’an, Allah sering mengingatkan tentang munafik—orang yang menampilkan wajah berbeda dari isi hati. Misalnya QS. Al-Baqarah ayat 8–9:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۚ وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَۗ

“Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang mukmin. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.”

Ayat ini menunjukkan bahwa sopan santun palsu bukan sekadar etika yang lemah, tapi bisa menjadi penyakit hati.

Pertanyaan Reflektif
Bagaimana kita bisa membedakan sopan santun yang tulus dengan yang pura-pura?; Apakah permainan ini muncul karena tekanan budaya (norma sosial) atau karena kelemahan pribadi (takut jujur)?; Ataukah bagaimana guru, orang tua, atau pemimpin bisa menumbuhkan sopan santun yang berguna, bukan sekadar sempurna?

1. Bagaimana kita bisa membedakan sopan santun yang tulus dengan yang pura-pura?

Tanda sopan santun tulus ialah: (1)konsistensi; sikap santun muncul dalam berbagai situasi, bukan hanya saat ada keuntungan. (2)keselarasan hati dan tindakan; kata-kata lembut diiringi dengan niat baik dan kepedulian nyata. (3)keberlanjutan; tetap santun meski tidak ada yang melihat atau menilai. (4)empati; ada perhatian terhadap kebutuhan orang lain, bukan sekadar menjaga citra diri.

Sedangkan tanda sopan santun pura-pura yaitu: (1)selektif; hanya muncul di depan orang penting atau saat ada kepentingan. (2)kontradiksi; ucapan manis, tetapi tindakan merugikan atau tidak peduli. (3)rapuh; mudah hilang ketika situasi tidak menguntungkan. (4)berorientasi diri; lebih fokus pada bagaimana orang lain melihat dirinya, bukan pada manfaat bagi sesama.

2. Apakah permainan ini muncul karena tekanan budaya (norma sosial) atau karena kelemahan pribadi (takut jujur)?

Tekanan Budaya (Norma Sosial)
• Konformitas: masyarakat sering menuntut kita untuk “ramah” atau “sopan” meski hati tidak sejalan.
• Etiket formal: dalam banyak budaya, menjaga wajah (saving face) lebih penting daripada kejujuran langsung.
• Harmoni semu: sopan santun pura-pura bisa muncul sebagai strategi untuk menghindari konflik terbuka.

Kelemahan Pribadi (Takut Jujur)
• Rasa takut: khawatir ditolak, disalahpahami, atau dianggap kasar jika berkata jujur.
• Kurang percaya diri: merasa tidak cukup kuat untuk menyampaikan isi hati dengan santun.
• Kepentingan diri: memilih aman demi keuntungan pribadi, bukan demi kebaikan bersama.

3. Bagaimana guru, orang tua, atau pemimpin bisa menumbuhkan sopan santun yang berguna, bukan sekadar sempurna?

Prinsip Dasar
Berguna, bukan sempurna. Sopan santun bukan sekadar tampilan luar, tetapi harus memberi manfaat nyata bagi hubungan dan lingkungan. Fitrah manusia, setiap anak lahir dengan potensi kebaikan; tugas pendidik dan pemimpin adalah menumbuhkannya, bukan menekannya dengan formalitas kosong.

Strategi praktis
Teladan nyata; guru, orang tua, dan pemimpin menunjukkan sopan santun dalam tindakan sehari-hari, bukan hanya kata-kata. Misalnya: menyapa dengan tulus, mendengar dengan sabar, meminta maaf bila salah.

Ruang kejujuran
Dorong anak atau anggota komunitas untuk jujur dengan santun, bukan sekadar “diam demi sopan”. Latih mereka menyampaikan pendapat dengan bahasa yang baik, meski berbeda.

Refleksi bersama
Gunakan cerita, ayat, atau peristiwa nyata untuk mengajak merenung: apakah sikap kita berguna bagi orang lain?. Misalnya: diskusi setelah kegiatan, “Apa yang kamu rasakan ketika temanmu menyapamu dengan tulus?”

Apresiasi ketulusan
Hargai sikap santun yang lahir dari hati, bukan hanya yang terlihat indah di luar. Misalnya: memberi pujian pada anak yang membantu temannya dengan ikhlas, meski sederhana. (*)

Tinggalkan Balasan

Search