Kadang, dosa tidak datang dengan suara keras. Ia datang diam-diam — lewat pandangan yang dibiarkan, kata-kata yang menyinggung, atau hati yang diam tapi menyimpan dengki. Awalnya terasa sepele, tapi lama-lama ada yang berubah di dalam diri. Pikiran jadi bising, tidur tidak nyenyak, napas terasa berat, dan tubuh kehilangan gairah.
Dari sisi psikologi, itulah tanda bahwa sistem saraf sedang “terjebak” dalam mode siaga. Tubuh membaca dosa seperti membaca bahaya. Ia bereaksi dengan melepaskan hormon stres, menegangkan otot, mempercepat detak jantung — seolah-olah sedang melawan musuh, padahal musuhnya adalah rasa bersalah sendiri.
Sistem saraf manusia bekerja sangat halus. Saat seseorang berbuat salah dan tidak menyesalinya, otak limbik — bagian yang mengatur emosi — mulai menyimpan konflik batin. Konflik ini tidak selalu disadari, tapi efeknya nyata. Ia bisa muncul dalam bentuk mudah tersinggung, gampang marah, atau kelelahan emosional tanpa sebab.
Otak, yang seharusnya memberi sinyal bahagia, malah sibuk memutar ulang kenangan yang menyakitkan. Dalam istilah psikologi, ini disebut neural looping — pikiran negatif yang terus berulang dan akhirnya menguasai suasana hati.
Menariknya, Al-Qur’an telah memberi peringatan jauh sebelum sains menemukan istilah itu. “Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14). Kata “rānā” dalam ayat ini bermakna selubung atau karat yang menutupi hati. Saat hati berkarat, nurani tak lagi jernih membaca kebenaran. Dosa kecil yang dulu membuat kita takut, kini terasa biasa. Inilah titik berbahaya dalam jiwa manusia — ketika sistem spiritualnya mati rasa, sementara sistem sarafnya menanggung bebannya.
Dalam bahasa psikologi, itulah kondisi emotional numbness, perasaan mati rasa yang sering muncul pada orang yang terlalu lama menekan rasa bersalah.
Rasulullah ﷺ menggambarkan hubungan itu dengan indah: “Jika seorang hamba berbuat dosa, maka ada titik hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, maka hatinya bersih. Jika ia terus melakukannya, maka bertambah titik hitam itu hingga menutupi seluruh hatinya.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini sejalan dengan konsep neuroplasticity — bahwa otak manusia bisa berubah karena kebiasaan. Dosa yang diulang membentuk pola saraf baru. Semakin sering seseorang berdusta, semakin mudah otaknya melakukannya lagi tanpa rasa bersalah. Namun kabar baiknya, taubat juga memiliki kekuatan sebaliknya. Ia mampu menghapus pola lama dan menggantinya dengan kedamaian yang nyata.
Penyembuhan sejati tidak hanya dilakukan di ranjang terapi, tapi juga di atas sajadah. Shalat, dzikir, dan istighfar bukan sekadar ibadah spiritual, melainkan cara paling alami untuk menenangkan sistem saraf. Saat dahi menyentuh sajadah, otak melepaskan hormon endorfin dan serotonin — hormon yang sama dengan efek relaksasi. Tubuh menjadi tenang, pikiran melambat, dan hati kembali ringan.
Maka, jika kamu merasa pikiranmu sudah terlalu bising, cobalah bukan hanya menenangkan diri, tapi juga ingatlah dosa. Karena sering kali, yang membuat sistem saraf kita lelah bukan dunia luar, tapi dosa dosa kecil tumbuh menjadi dosa besar yang merusak sistem syaraf pada diri sendiri. https://lynk.id/faridfi
