Psikosomatis Dosa : Membunuh Tanpa Hak

Psikosomatis Dosa : Membunuh Tanpa Hak
*) Oleh : Farid Firmansyah, M.Psi
Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur
www.majelistabligh.id -

Ada sesuatu yang tidak mudah dijelaskan ketika kita berbicara tentang pembunuhan. Dalam Islam, membunuh tanpa hak adalah dosa besar. Kita semua tahu itu. Tapi ketika kita merenungkan ayat: “Barang siapa membunuh satu jiwa… maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia.” (QS. Al-Maidah: 32).

Dan rasanya ayat itu tidak sedang berbicara tentang hukum saja, tapi tentang keretakan batin yang luar biasa. Kita merasa ayat itu berbicara tentang lebih dari sekadar hukum. Ada makna psikologis di sana, pesan bahwa tindakan itu merusak keutuhan jiwa manusia, tidak hanya korban, tapi juga pelakunya. Karena fitrah manusia itu lembut, punya kasih sayang bawaan.

Ketika seseorang memaksa dirinya melakukan sesuatu yang berlawanan, sesuatu dalam dirinya pasti retak. Kadang retaknya tidak langsung terlihat, tapi ia ada. Menunggu.

Kita pernah membaca banyak literatur forensik, banyak sekali. Dan hampir semua menyebut hal yang sama. Setelah pembunuhan, pelaku sering masuk ke kondisi yang kita hanya bisa gambarkan sebagai “kekacauan sunyi.” Mereka gelisah tanpa alasan, terjaga di malam hari, tubuh gemetar padahal tidak dingin, dan otak mereka seperti tidak bisa berhenti memutar ulang kejadian itu.

Neurosains menjelaskan, prefrontal cortex—bagian otak yang mengatur moral dan penilaian—mulai kacau. Amygdala bekerja terlalu keras, membuat ketakutan kecil terasa seperti ancaman besar. Hippocampus menyimpan memori emosional seperti duri. Tubuh dan otak bersama-sama mencatat dosa itu. Kita bisa menyebutnya trauma. Atau hukuman batin. Atau sekadar beban. Tapi apa pun istilahnya… itu nyata.

Dan tubuh tidak berbohong. Kita pernah melihat seseorang yang tampak sehat secara fisik, tapi dalam hitungan bulan setelah kasus kekerasan berat, berat badannya turun drastis. Stres moral memicu hormon kortisol, kata dokter. Tapi kita melihat lebih dari itu. Kita melihat seseorang yang kehilangan sebagian dirinya. Insomnia. Migrain. Jantung berdebar seperti sedang dikejar sesuatu.

Orang-orang sering lupa bahwa tubuh menyimpan memori sama kuatnya dengan pikiran. Allah SWT berfirman, “Barang siapa berlaku zalim, maka ia hanya menzalimi dirinya sendiri.” (QS. Yunus: 44). Pembunuhan tidak hanya melukai korban. Tapi pelaku pun menzalimi dirinya, Jiwanya, Fisiknya dan Masa depannya.

Ada yang paling menyayat adalah bagaimana pembunuhan menciptakan jarak. Jarak yang tidak kasat mata, tapi sangat, sangat terasa. Pelaku sering menjauh dari keluarga, dari teman, dari kehangatan manusia. Bahkan setelah keluar dari penjara. Mereka mungkin tersenyum, bekerja, hidup seperti orang lain… tapi ada ruang kosong di dalam mereka. Sebuah ruang yang sulit dijangkau siapa pun. Dan semakin mereka menjauh dari manusia, semakin dalam luka itu tertanam. Sementara keluarga korban? Mereka membawa jenis kesedihan yang sama sekali berbeda, tapi sama beratnya. Trauma mengalir dari satu rumah ke rumah lain.

Dan di tengah semua ini, Islam memberi jalan pulang: taubat. Kita tahu, kedengarannya sederhana. Tapi bagi banyak orang, taubat adalah satu-satunya terapi yang tersisa ketika dunia menutup pintu. Taubat itu—kalau dilakukan dengan jujur dan sepenuh hati—membantu jiwa mengatur ulang dirinya. Doa menenangkan amygdala, sujud menurunkan hormon stres, istighfar membuka ruang di hati yang sebelumnya sesak oleh rasa bersalah.

Kita pernah melihat orang berubah karena taubat. Tidak langsung pulih. Tidak menjadi sempurna. Tapi ada cahaya tipis yang muncul di wajah mereka. Cahaya seorang manusia yang sedang, perlahan, belajar berdamai dengan dirinya.

Pembunuhan adalah dosa besar. Luka besar. Tapi di balik luka itu, ada pelajaran tentang betapa rapuhnya manusia, betapa berharganya kehidupan, dan betapa luasnya rahmat Allah yang tidak pernah berhenti memanggil pulang siapa pun yang tersesat.

Kadang, kita berpikir… manusia tidak diciptakan untuk menanggung dosa seperti ini. Karena setiap bagian dari diri manusia menolak pembunuhan, baik pikirannya, tubuhnya, dan hatinya. Karena itu Allah begitu keras mengingatkan kita tentang sakralnya nyawa. Bukan hanya untuk menjaga dunia tetap aman. Tapi untuk menjaga agar manusia tetap menjadi manusia. https://lynk.id/faridfi

Tinggalkan Balasan

Search