Psikosomatis Dosa: Tipu Daya Pikiran yang Membenarkan Dosa (#8)

Psikosomatis Dosa: Tipu Daya Pikiran yang Membenarkan Dosa (#8)
*) Oleh : Farid Firmansyah, M.Psi
Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur
www.majelistabligh.id -

Pernahkah kamu melakukan sesuatu yang salah, tapi kemudian mencari alasan agar tetap terasa benar? Misalnya, ketika marah dan membentak orang lain, lalu berkata dalam hati, “Aku cuma jujur kok, dia aja yang baper.” Atau saat menyontek tugas, tapi meyakinkan diri, “Ah, semua orang juga begitu.” Nah, di situlah distorsi kognisi bekerja — tipu daya halus dari pikiran yang membuat dosa terasa ringan, bahkan terlihat masuk akal.

Ia seperti kabut di kaca spion: tidak menghilangkan pandangan sepenuhnya, tapi cukup membuat kita salah arah.

Distorsi kognisi ini sebenarnya bukan hal baru. Dalam psikologi, istilah ini menggambarkan cara berpikir yang menyimpang dari kenyataan. Namun, dalam konteks moral dan spiritual, ia bisa menjadi celah tempat bisikan halus masuk. Contohnya, seseorang yang sering menunda taubat mungkin berpikir, “Tuhan kan Maha Pengampun, nanti aja berubah kalau sudah tua.” Padahal, di balik kalimat itu, ada penundaan tanggung jawab yang dibungkus dengan alasan religius. Pikiran berusaha melindungi ego — bukan nurani.

Kalau kita amati, banyak perilaku manusia di sekitar kita yang sebenarnya berakar dari distorsi semacam ini. Lihat saja di jalan, orang yang melanggar lampu merah sering merasa sah-sah saja karena “cuma buru-buru.” Di media sosial, seseorang bisa menjelekkan orang lain dengan dalih “sekadar mengingatkan.” Semua terdengar logis, tapi di balik logika itu ada pembenaran diri yang diam-diam menumpulkan rasa bersalah. Hati mulai kebal terhadap dosa karena pikiran terlalu pandai membuat alasan.

Menariknya, distorsi ini tidak selalu terasa buruk di awal. Ia sering muncul dengan wajah baik-baik saja — seperti teman yang membisikkan, “Sudahlah, kamu kan niatnya gak jahat.” Lama-lama, kita jadi terbiasa memoles dosa menjadi pembenaran moral. Inilah bahaya sebenarnya ketika pikiran berhenti menjadi alat refleksi dan berubah menjadi alat pembela diri.

Dalam Islam, inilah yang sering disebut sebagai “ghurur” — tertipu oleh diri sendiri, merasa aman padahal sedang jauh dari kebenaran. Maka, penting bagi kita untuk sesekali menantang pikiran sendiri. Ketika hati mulai membenarkan hal yang salah, mungkin saatnya bertanya: apakah ini suara nurani, atau sekadar rasionalisasi agar tetap nyaman?

Mengakui kesalahan memang tidak enak, tapi itulah jalan menuju jernihnya jiwa. Pikiran yang jujur tidak selalu membuat tenang, tapi pasti membawa kita lebih dekat pada kebenaran. Dan di situlah letak taubat yang sesungguhnya — ketika kita berani melawan tipu daya halus dari pikiran yang ingin selalu tampak benar.
https://lynk.id/faridfi

Tinggalkan Balasan

Search