Malam 1 Rajab yang dimulai sejak Maghrib Ahad (21/12/2025), hadir bukan sekadar sebagai penanda pergantian bulan dalam kalender Hijriah, melainkan sebagai momentum spiritual yang bertemu dengan dua peristiwa besar lainnya: erupsi Gunung Semeru pada pagi hari yang sama dan peringatan Hari Basket Sedunia yang mengingatkan dunia pada sejarah panjang olahraga modern.
Rajab dalam tradisi Islam dikenal sebagai salah satu bulan haram yang dimuliakan, bulan untuk menata niat, membersihkan hati, dan menyiapkan diri menuju Ramadhan. Ketika Rajab datang, umat diajak memperlambat langkah, merenungi arah hidup, serta menguatkan kesadaran bahwa waktu bukan hanya berjalan, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban. Namun, keheningan makna Rajab tahun ini seolah diguncang oleh kabar erupsi Semeru, gunung yang kembali mengingatkan manusia akan keterbatasannya.
Erupsi Gunung Semeru pada pagi 21 Desember 2025 bukan peristiwa baru dalam sejarah kebencanaan Indonesia, tetapi setiap letusannya selalu membawa pesan yang sama: alam tidak pernah benar-benar bisa dikendalikan. Di tengah kemajuan teknologi dan data mitigasi, letusan gunung api tetap menghadirkan rasa gentar sekaligus duka bagi warga yang terdampak. Ini menjadi cermin bahwa manusia, setinggi apa pun ilmunya, tetap hidup dalam ruang ketidakpastian.
Pertemuan Rajab dan erupsi Semeru menghadirkan ironi yang tajam. Di satu sisi, Rajab mengajarkan kesucian dan pengendalian diri; di sisi lain, Semeru menunjukkan kedahsyatan alam yang tak bisa ditahan oleh doa semata tanpa kesiapsiagaan sosial dan kebijakan yang adil. Spiritualitas tanpa tanggung jawab sosial hanya akan menjadi ritual kosong yang tidak menjawab penderitaan nyata.
Di saat yang sama, dunia memperingati Hari Basket Sedunia, mengenang pertandingan pertama pada 21 Desember 1891 di Springfield, Massachusetts. Basket, sebagai simbol olahraga modern, lahir dari gagasan tentang disiplin, kerja sama, dan fair play. Peringatan ini bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan pengingat bahwa peradaban global juga dibangun melalui nilai-nilai sportivitas dan kebersamaan lintas batas.
Menariknya, Hari Basket Sedunia jatuh di hari yang sama ketika Indonesia menghadapi peristiwa alam dan momentum keagamaan. Ini menegaskan bahwa manusia hidup dalam ruang multidimensi: lokal dan global, sakral dan profan, spiritual dan jasmani. Tantangannya adalah bagaimana menyatukan semua dimensi itu menjadi kesadaran etis yang utuh, bukan saling meniadakan.
Olahraga seperti basket mengajarkan bahwa kemenangan tidak diraih sendirian, melainkan melalui strategi, kepercayaan, dan solidaritas tim. Nilai ini relevan ketika bencana seperti erupsi Semeru terjadi. Penanganan bencana tidak bisa bertumpu pada satu aktor, tetapi membutuhkan kerja kolektif antara negara, masyarakat, relawan, dan dunia usaha dengan semangat kebersamaan yang nyata, bukan seremonial.
Sayangnya, dalam banyak kasus, bencana di Indonesia masih sering diperlakukan sebagai rutinitas musiman. Solidaritas muncul di awal, lalu memudar seiring waktu. Rajab seharusnya menjadi momen untuk mengoreksi sikap ini, bahwa kepedulian sosial adalah bagian dari ibadah, dan keselamatan manusia adalah tujuan utama dari kebijakan publik.
Rajab juga mengingatkan bahwa dosa sosial tidak kalah berat dibanding dosa individual. Ketika tata ruang diabaikan, lingkungan dieksploitasi, dan warga sekitar gunung hidup dalam kerentanan struktural, maka bencana bukan lagi murni takdir alam, tetapi juga hasil dari kelalaian manusia. Di sinilah iman diuji, bukan hanya di sajadah, tetapi dalam keberpihakan pada keadilan ekologis.
Hari Basket Sedunia, dalam konteks ini, bisa dibaca sebagai simbol dunia yang terus bergerak, berlomba, dan berkompetisi. Namun, kompetisi tanpa etika hanya melahirkan ketimpangan. Dunia modern yang digambarkan lewat olahraga profesional sering kali kontras dengan realitas warga di lereng Semeru yang berjuang untuk keselamatan dasar. Kesenjangan ini menuntut refleksi global tentang arah kemajuan.
Indonesia, sebagai bangsa religius sekaligus bagian dari komunitas dunia, tidak bisa memilih satu identitas saja. Rajab mengakar pada iman, Semeru menuntut empati nasional, dan basket mencerminkan keterhubungan global. Ketiganya menantang kita untuk keluar dari cara pandang sempit dan membangun kesadaran yang lebih menyeluruh tentang kemanusiaan.
Jika Rajab hanya dirayakan dengan doa tanpa aksi, maka ia kehilangan maknanya. Jika erupsi Semeru hanya diberitakan tanpa evaluasi kebijakan, maka duka akan berulang. Jika Hari Basket Sedunia hanya diperingati tanpa mengambil nilai sportivitas dan solidaritasnya, maka sejarah tinggal cerita kosong. Semua peristiwa ini menuntut tindak lanjut, bukan sekadar ingatan.
Momentum 21 Desember 2025 seharusnya menjadi titik temu refleksi: bahwa hidup manusia selalu berada di antara ibadah, bencana, dan peradaban. Ketiganya tidak berdiri sendiri, melainkan saling menguji kualitas moral kita sebagai individu dan bangsa. Apakah kita hanya reaktif, atau mampu belajar dan berbenah?
Baca juga: Bulan Rajab untuk Tobat, Syakban Masa Orientasi, Ramadan Puncak Perubahan
Pada akhirnya, Rajab, Semeru, dan Hari Basket Sedunia mengajarkan satu pelajaran penting: keseimbangan. Keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan, kepedulian terhadap sesama, dan partisipasi dalam dunia global. Tanpa keseimbangan itu, iman menjadi rapuh, solidaritas menjadi semu, dan kemajuan kehilangan arah.
Maka, menyambut Rajab di tengah dentuman Semeru dan riuh peringatan dunia, bangsa ini ditantang untuk tidak sekadar bertahan, tetapi bertumbuh secara moral. Inilah saatnya menjadikan spiritualitas sebagai energi sosial, menjadikan bencana sebagai pelajaran kebijakan, dan menjadikan sejarah global sebagai inspirasi untuk membangun peradaban yang lebih adil dan beradab. (*)
