*)Oleh: M. Ainul Yaqin Ahsan, M.Pd
Anggota MTT PDM Lamongan
Konflik Palestina kembali memasuki babak baru yang semakin kompleks. Tiga peristiwa besar yang terjadi belakangan ini menunjukkan dinamika geopolitik yang terus berubah: negara-negara Arab menyatakan persatuan untuk membantu Gaza, Amerika Serikat masih memainkan peran ambigu dengan ancaman serta dukungan terselubung, sementara Israel kembali melancarkan serangan di pinggiran Gaza. Di tengah situasi ini, muncul pula pidato dari juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Ubaidah, yang memberikan semangat baru bagi perjuangan rakyat Palestina.
Salah satu perkembangan paling signifikan adalah keputusan negara-negara Arab dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terbaru. Negara-negara Arab sepakat untuk tidak membiarkan rakyat Gaza dipaksa keluar dari tanah air mereka, sebuah strategi yang sudah lama digunakan oleh Israel untuk menguasai wilayah Palestina secara de facto.
Sebagai bentuk komitmen, negara-negara Arab menyiapkan dana sebesar 53 miliar dolar untuk membangun kembali Gaza. Angka ini, meskipun terlihat besar, sebenarnya masih tergolong kecil dibandingkan potensi ekonomi kawasan. Namun, lebih dari sekadar bantuan finansial, keputusan ini menunjukkan tekad negara-negara Arab untuk memperkuat Gaza dan Palestina secara militer, ekonomi, dan politik, agar mereka tidak lagi bergantung pada bantuan luar.
Strategi Israel Melalui Pemilu hingga Senjata
Di sisi lain, Amerika Serikat dan Israel terus memainkan strategi tarik-ulur. Donald Trump, dalam video provokatifnya, secara terang-terangan meremehkan kapasitas negara-negara Arab dalam membangun Gaza. Di saat yang sama, Amerika Serikat kembali mengirimkan pasokan senjata ke Israel, menunjukkan bahwa mereka telah menyiapkan skenario untuk merespons dinamika politik di Palestina, terutama jika Pemilu mendatang menghasilkan kemenangan bagi Hamas.
Pemilu Palestina menjadi salah satu momen krusial. Survei menunjukkan 80% rakyat Gaza dan 70% rakyat di Tepi Barat cenderung memilih Hamas. Ini menjadi ancaman bagi faksi Fatah dan Otoritas Palestina yang dipimpin oleh Mahmoud Abbas, yang selama ini dianggap gagal mewakili aspirasi rakyat Palestina. Sejarah membuktikan bahwa setiap kali ada persatuan di Palestina, Israel merespons dengan agresi militer.
Baca juga: Tenaga Medis Rumah Sakit Palestina Sampaikan Apresiasi atas Bantuan Muhammadiyah
Pada tahun 2014, setelah Ismail Haniyah menginisiasi rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah, Israel langsung melancarkan serangan brutal dengan dalih “Operasi Protective Edge.” Kemungkinan besar, jika Hamas menang dalam Pemilu mendatang, Israel akan kembali menggunakan taktik serupa untuk menggagalkan pemerintahan baru Palestina.
Dilema Negara-Negara Arab
Persoalan Palestina bukan hanya masalah Gaza, tetapi juga bagian dari krisis yang lebih luas di dunia Arab. Suriah, Yaman, Sudan, dan Somalia adalah beberapa negara yang saat ini juga mengalami kehancuran dan krisis kemanusiaan. Negara-negara Arab menghadapi tantangan besar, di satu sisi mereka ingin mendukung Palestina, tetapi di sisi lain mereka juga harus menangani konflik internal di kawasan mereka sendiri.
Selain itu, Palestina hingga saat ini belum diakui sebagai negara berdaulat oleh PBB secara penuh, terutama karena veto dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Akibatnya, meskipun negara-negara Arab ingin memberikan bantuan militer secara langsung, mereka terbentur oleh hukum internasional.
Berbeda dengan Suriah, yang diakui sebagai negara berdaulat sehingga berhak meminta bantuan dari Turki atau Iran, Palestina masih berada dalam status yang tidak jelas di mata hukum internasional. Inilah yang membuat negara-negara Arab tidak bisa secara terang-terangan mengirimkan bantuan militer ke Gaza.
Masa Depan Palestina di Titik Kritis
Konflik Palestina tak sekadar pertarungan antara Hamas dan Israel, melainkan bagian dari dinamika politik global yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia. Amerika Serikat, Rusia, China, dan negara-negara Eropa memiliki kepentingan masing-masing dalam konflik ini, sementara negara-negara Arab berada di persimpangan antara membantu Palestina atau menjaga stabilitas mereka sendiri.
Keputusan KTT Arab untuk bersatu dalam membangun Gaza adalah langkah positif, tetapi tantangan ke depan masih sangat besar. Jika Hamas menang dalam Pemilu mendatang, maka kemungkinan besar akan terjadi eskalasi konflik dengan Israel. Negara-negara Arab harus mencari strategi yang lebih efektif untuk mendukung kemerdekaan Palestina tanpa terjerumus dalam perang berkepanjangan.
Palestina telah bertahan dalam perjuangan panjang selama lebih dari tujuh dekade. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah dunia akan membiarkan sejarah terus berulang, atau akankah ada titik balik yang membawa Palestina menuju kemerdekaan sejati?. (*)