Pertanyaan akhirat adalah pengingat mendalam tentang tanggung jawab hidup kita di dunia. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa di Hari Kiamat, seorang hamba tidak akan bergeser dari tempatnya sebelum ditanya tentang lima perkara utama:
Lima Pertanyaan di Hari Kiamat:
1. Umur – Untuk apa ia dihabiskan?
* Setiap detik adalah amanah. Apakah kita gunakan untuk kebaikan, ibadah, dan manfaat?
2. Masa Muda – Bagaimana ia digunakan?
* Masa penuh energi dan potensi. Apakah disia-siakan atau dimanfaatkan untuk membangun amal?
3. Ilmu – Sudahkah diamalkan?
* Ilmu bukan sekadar pengetahuan, tapi harus menjadi amal nyata. Ilmu yang tidak diamalkan bisa menjadi beban.
4. Jasad – Untuk apa digunakan?
* Fisik kita adalah titipan. Apakah digunakan untuk ibadah, pelayanan, atau hal yang sia-sia?
5. Harta – Dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan?
* Sumber dan penggunaan harta akan diteliti. Apakah halal dan digunakan untuk kebaikan?
Kenapa pertanyaan tentang harta ada dua?
Pertanyaan tentang harta—dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan—adalah salah satu dari lima pertanyaan besar di akhirat yang menggugah kesadaran spiritual dan etika kita sebagai khalifah di bumi.
1. Dari Mana Harta Diperoleh?
Islam menekankan bahwa sumber harta harus halal dan thayyib (baik secara moral dan spiritual). Ini bukan sekadar soal legalitas, tapi juga soal keberkahan.
Prinsip Utama:
* Kehalalan sumber: Harta dari riba, korupsi, penipuan, atau eksploitasi dilarang keras.
* Etika kerja: Bekerja dengan niat ibadah, jujur, dan tidak merugikan orang lain.
* Amanah profesi: ASN, guru, pedagang, atau pemimpin—semua dituntut menjaga integritas dalam mencari nafkah.
2. Ke Mana Harta Dibelanjakan?
Harta bukan sekadar milik pribadi, tapi titipan yang harus digunakan untuk kebaikan. Di sinilah konsep infak, zakat, dan pengelolaan bijak menjadi kunci.
“Sesungguhnya fitnah umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi)
Bayangkan harta sebagai benih. Jika ditanam di ladang amal, ia tumbuh menjadi pohon kebaikan di akhirat. Tapi jika ditanam di tanah keserakahan, ia bisa menjadi pohon penyesalan.
“Dunia dan harta adalah ladang akhirat. Menanam biji kebaikan akan menuai buah surga.”
Prinsip etika dalam memperoleh harta dalam Islam bukan hanya soal halal dan haram, tapi juga menyangkut integritas, tanggung jawab sosial, dan niat spiritual.
Prinsip Etika dalam Memperoleh Harta Menurut Islam
1. Kehalalan Sumber
* Harta harus diperoleh melalui cara yang halal, sesuai syariat.
* Dilarang mengambil harta melalui riba, penipuan, korupsi, manipulasi, atau eksploitasi.
* QS. An-Nisa: 29
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2. Kejujuran dan Transparansi
* Dalam berdagang, bekerja, atau bertransaksi, kejujuran adalah kunci.
* Rasulullah ﷺ bersabda: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi)
3. Tidak Merugikan Orang Lain
* Etika ekonomi Islam menolak praktik yang menzalimi, memanipulasi, atau menindas pihak lain.
* Termasuk dalam hal ini: monopoli, penipuan harga, dan eksploitasi tenaga kerja.
4. Niat yang Lurus
* Mencari harta bukan untuk kesombongan atau keserakahan, tapi untuk memenuhi amanah, menafkahi keluarga, dan berkontribusi pada kemaslahatan umat.
* Harta adalah sarana, bukan tujuan.
5. Keadilan dan Keseimbangan
* Islam mendorong distribusi kekayaan yang adil, bukan akumulasi yang eksklusif.
* Prinsip ‘adl (keadilan) dan ihsan (kebaikan) menjadi landasan dalam semua aktivitas ekonomi.
6. Tanggung Jawab Sosial
* Harta yang diperoleh harus disertai dengan kesadaran untuk berbagi: zakat, infak, sedekah.
* QS. Al-Baqarah: 254:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيْهِ وَلَا خُلَّةٌ وَّلَا شَفَاعَةٌ ۗوَالْكٰفِرُوْنَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum datang hari (Kiamat) yang tidak ada (lagi) jual beli padanya (hari itu), tidak ada juga persahabatan yang akrab, dan tidak ada pula syafaat. Orang-orang kafir itulah orang-orang zalim. (*)
