Peneliti dan instruktur senior Sapience Institute, Fahad Tasleem, mengatakan bahwa kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) saat ini bukan sekadar teknologi, tetapi sudah mulai membentuk pola berpikir, cara mengambil keputusan, bahkan nilai moral manusia. Jika tidak disikapi secara kritis, AI berpotensi menggantikan peran akal manusia dan menjadi sumber otoritas baru yang tidak berpijak pada nilai-nilai Islam.
Hal ini disampaikan oleh Fahad Tasleem dalam Public Lecture bertema “Tantangan ateisme dan perkembangan kecerdasan buatan terhadap keimanan dan cara berpikir umat Islam”. Acara ini digelar olah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja sama dengan Sapience Institute, di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Jumat (19/12).
Sapience Institute sendiri adalah organisasi nirlaba yang berbasis di London, Inggris. Organisasi ini didirikan oleh Hamza Andreas Tzortzis dan berfokus pendidikan Islam, pemberdayaan individu, dialog, dan dakwah Islam.
“Masalahnya bukan pada teknologinya, tetapi pada nilai dan pandangan hidup yang dibawanya. Ketika umat tidak sadar akan worldview yang bekerja di balik AI, maka pelan-pelan cara berpikirnya bisa dibentuk oleh nilai asing,” jelas Fahad.
Ia menegaskan bahwa Islam harus dipahami sebagai pandangan hidup menyeluruh (worldview), bukan sekadar agama dalam pengertian sempit. Dengan kesadaran worldview Islam, umat dapat memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan arah akidah dan etika.
Bahaya Ateisme
Di tempat yang sama, Hamza Andreas Tzortzis, pendiri Sapience Institute, menyoroti menguatnya narasi ateisme modern yang kerap mempersoalkan keberadaan Tuhan melalui isu penderitaan, kejahatan, dan krisis makna hidup.
Menurutnya, ateisme tidak hanya menawarkan keraguan intelektual, tetapi juga membangun cara pandang hidup yang menyingkirkan Tuhan dari pusat makna.
Hamza menegaskan bahwa Islam memiliki kerangka rasional dan spiritual yang kokoh untuk menjawab klaim ateisme, terutama melalui pemahaman tentang hikmah Ilahi, tujuan penciptaan, dan keterbatasan akal manusia.
“Masalah kejahatan dan penderitaan sering dijadikan argumen melawan Tuhan, padahal itu justru menunjukkan keterbatasan manusia dalam memahami keseluruhan rencana Ilahi,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya jihad intelektual, yaitu upaya serius menjawab tantangan pemikiran modern dengan landasan Al-Qur’an dan tradisi keilmuan Islam. Hal tersebut agar umat tidak terjebak pada krisis iman di tengah arus globalisasi gagasan. (*/tim)
