Dalam perjalanan sejarah manusia, jabatan selalu menjadi sesuatu yang diperbincangkan, diperebutkan, dihormati, sekaligus ditakuti. Ia tampak sebagai jalan menuju pengaruh, kekuasaan, bahkan kesejahteraan. Namun di sisi lain, jabatan kerap menjelma ujian berat yang menjerumuskan banyak orang ke dalam lingkaran keserakahan, penyalahgunaan wewenang, dan pengkhianatan terhadap amanah. Pertanyaannya: apa sebenarnya hakikat jabatan dalam kehidupan umat manusia?
Al-Qur’an memberikan perspektif yang jernih tentang posisi manusia di muka bumi. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” (QS. al-Baqarah: 30).
Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia pada hakikatnya memegang jabatan sebagai khalifah, yakni wakil Allah untuk memakmurkan bumi, menegakkan keadilan, dan menjaga keseimbangan kehidupan. Dengan kata lain, jabatan bukanlah sekadar kursi formal yang melekat dalam struktur politik atau birokrasi, melainkan mandat Ilahi yang menuntut tanggung jawab besar.
Nabi Muhammad SAW bahkan memperingatkan umatnya bahwa jabatan adalah amanah yang berat. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya kalian akan sangat berambisi terhadap jabatan, padahal jabatan itu kelak menjadi penyesalan pada hari kiamat; betapa baiknya jabatan itu pada awalnya, dan betapa buruknya pada akhirnya.”
Hadis ini menunjukkan bahwa jabatan bisa menjadi jalan menuju kebaikan bila ditunaikan dengan benar, tetapi sekaligus bisa berubah menjadi sumber penyesalan bila disalahgunakan.
Fenomena kontemporer membuktikan bagaimana jabatan seringkali dipandang semata-mata sebagai alat mobilitas sosial dan ekonomi. Tidak jarang seseorang mendambakan kursi kekuasaan bukan untuk melayani rakyat, melainkan untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Inilah yang melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Padahal, bila dipahami secara mendalam, jabatan bukanlah hak istimewa, melainkan kewajiban yang mengikat.
Dalam perspektif Islam, hakikat jabatan lebih dekat dengan konsep taklif (beban amanah), bukan tasyriif (kehormatan semata). Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ketika diangkat menjadi khalifah pertama menyampaikan kalimat yang terkenal, “Aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku benar, ikutilah aku. Jika aku salah, luruskanlah aku.”
Ungkapan ini mencerminkan kesadaran bahwa jabatan bukanlah mahkota kemuliaan, melainkan tanggung jawab yang menuntut koreksi, pengawasan, dan keikhlasan.
Sayangnya, dalam kultur politik modern, jabatan sering diperlakukan sebagai barang rebutan. Proses pemilihan umum, kontestasi politik, hingga perebutan posisi di lembaga-lembaga strategis terkadang tidak lagi menitikberatkan pada kualitas integritas dan kapabilitas, melainkan pada kekuatan modal, popularitas, dan jaringan. Akibatnya, jabatan jatuh ke tangan orang-orang yang sekadar mampu menguasai panggung, bukan mereka yang benar-benar amanah.
Di sinilah pentingnya kembali menghadirkan kesadaran spiritual dalam memandang jabatan. Seorang pejabat, apa pun tingkatannya, sejatinya sedang menandatangani kontrak moral di hadapan Allah dan manusia. Ia diminta untuk berlaku adil, melayani tanpa diskriminasi, serta mengutamakan kemaslahatan umum di atas kepentingan pribadi. Nabi SAW bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Dawud). Kalimat singkat ini menggeser paradigma: jabatan bukanlah untuk dilayani, tetapi untuk melayani.
Lebih jauh, jabatan harus dipahami sebagai sarana ibadah. Melaksanakan tugas dengan jujur, bekerja untuk kepentingan rakyat, menjaga integritas, dan menolak suap adalah bagian dari amal saleh. Jabatan yang ditunaikan dengan ikhlas bisa menjadi jalan menuju surga. Sebaliknya, mengkhianati jabatan berarti membuka pintu dosa yang berat, karena menyangkut hajat hidup banyak orang.
Dalam konteks bangsa Indonesia, refleksi atas hakikat jabatan menjadi sangat penting. Kita hidup dalam era demokrasi yang memberikan peluang luas kepada siapa pun untuk mengisi ruang-ruang jabatan publik. Namun peluang ini seharusnya tidak melahirkan mentalitas pragmatis yang menjadikan jabatan sebagai komoditas. Demokrasi baru akan bermakna bila jabatan dipahami sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara moral, sosial, dan spiritual.
Umat Islam khususnya perlu terus menginternalisasi ajaran agamanya dalam dunia kepemimpinan. Kesadaran bahwa jabatan adalah ujian seharusnya menumbuhkan sikap hati-hati, tidak rakus, dan tidak menjadikannya sebagai tujuan hidup. Sebab, jabatan hanyalah sarana, bukan tujuan. Tujuan sejati seorang mukmin adalah meraih ridha Allah dengan menebar kemaslahatan.
Akhirnya, hakikat jabatan dalam kehidupan umat manusia adalah amanah yang sarat dengan tanggung jawab, ujian yang bisa mengangkat derajat atau justru menjerumuskan, serta sarana ibadah untuk melayani sesama. Para pejabat, dari tingkat tertinggi hingga terendah, seharusnya menyadari bahwa kursi yang mereka duduki bukan milik pribadi, melainkan titipan. Dan setiap titipan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Oleh karena itu, siapa pun yang kini memegang jabatan, hendaknya merenungkan kembali sabda Nabi SAW: “Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin atas rakyatnya, kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga baginya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Inilah peringatan keras sekaligus pengingat lembut, bahwa jabatan bukanlah hadiah, melainkan beban amanah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. (*)
