Ulama dalam Perspektif Muhammadiyah Jadi Bahasan di Sekolah Tarjih Jatim

Ulama dalam Perspektif Muhammadiyah Jadi Bahasan di Sekolah Tarjih Jatim
www.majelistabligh.id -

Sesi ketiga Sekolah Tarjih PWM Jawa Timur, Sabtu (30/8/2025), menghadirkan Prof. Dr. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil.I., Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim, yang memaparkan materi “Prinsip dan Metode Manhaj Tarjih Muhammadiyah.” Sesi ini mengulas latar belakang, prinsip dasar, serta metode istinbath hukum yang selama ini menjadi pedoman tarjih Muhammadiyah.

Prof. Zuhdi menjelaskan, Majelis Tarjih lahir pada tahun 1927 dalam Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, sebagai respon terhadap perdebatan fiqh dan munculnya persoalan teologis kala itu.

“Majelis Tarjih dibentuk untuk menghindari perpecahan umat sekaligus memberikan pedoman beragama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah,” terangnya.

Dalam perkembangannya, manhaj tarjih disusun sebagai sistem beristinbath yang tidak terikat pada satu mazhab, tetapi tetap menggunakan ijtihad jama’i dengan prinsip musyawarah. Sumber hukum yang dipakai tidak hanya tekstual (Al-Qur’an dan hadis maqbulah), tetapi juga paratekstual seperti qiyas dan ijma.

Prof. Zuhdi menekankan, sejak Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo (1986), Majelis Tarjih merumuskan 16 pokok manhaj tarjih. Di antaranya: mendahulukan Al-Qur’an dan hadis shahih, membuka ruang ijtihad, menggunakan prinsip at-taysir (memberi kemudahan), serta bersikap terbuka terhadap kritik.

“Majelis Tarjih tidak pernah mengklaim dirinya paling benar. Putusan tarjih bisa berubah jika ditemukan dalil yang lebih kuat,” tegasnya.

Lebih jauh, Prof. Zuhdi memperkenalkan tiga pendekatan utama manhaj tarjih: Bayani (berbasis teks wahyu), Burhani (rasional-empiris), dan Irfani (intuisi spiritual). Menurutnya, ketiganya harus dikombinasikan untuk menghasilkan keputusan hukum Islam yang responsif terhadap realitas sosial.

Sesi ini semakin menarik dengan adanya pertanyaan dari peserta. Bu Idaul dari PDM Kota Malang menyoroti bahwa Majelis Tarjih terkesan kalah cepat dalam merespons isu-isu aktual. Menanggapi hal ini, Prof. Zuhdi mengakui, Tarjih memang terlihat lamban bukan karena tidak mampu, tetapi karena kurang adanya forum pembahasan. Tanpa musyawarah tarjih, pendapat sering kali hanya keluar dari tokoh tertentu,jelasnya.

Imam Wilujeng dari MTT Mojokerto juga mengajukan pertanyaan kritis: Dulu tarjih lebih memilih dalil yang kuat, namun sekarang cenderung dikompromikan. Bagaimana sikap kita melihat perubahan ini?” tanyanya.

Prof. Zuhdi menjelaskan bahwa metode tarjih tetap konsisten pada prinsip mencari dalil terkuat, namun dalam beberapa kasus diperlukan kompromi agar keputusan bisa diterima secara kolektif.

“Ini bukan melemah, tapi bentuk ijtihad jama’i yang mempertimbangkan maslahat dan kondisi umat,” tegasnya.

Sesi ini menegaskan bahwa manhaj tarjih Muhammadiyah adalah sistem ijtihad kolektif yang terbuka, dinamis, dan mengedepankan kemaslahatan. Diskusi interaktif membuat peserta semakin memahami dinamika tarjih dalam merespon persoalan umat.

Setelah sesi ini, acara berlanjut dengan pembahasan Hisab dan KHGT oleh narasumber berikutnya. (saiful hamzah)

 

Tinggalkan Balasan

Search