Bencana alam yang melanda wilayah Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh kembali mengingatkan kita pada satu kenyataan mendasar: negara selalu diuji bukan pada saat normal, melainkan pada saat darurat. Di titik inilah kebijakan publik harus mampu bergerak luwes, responsif, dan berpihak pada kebutuhan paling mendesak masyarakat.
Salah satu isu yang patut dikaji secara objektif dan rasional adalah perlunya refocusing anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG), khususnya pada masa liburan sekolah, untuk mendukung penanganan pasca bencana melalui mekanisme yang telah tersedia, seperti dapur umum Kementerian Sosial Republik Indonesia.
MBG dan Rasionalitas Kebijakan Anggaran
Program MBG pada prinsipnya merupakan kebijakan strategis negara dalam rangka pemenuhan hak gizi anak dan pembangunan sumber daya manusia jangka panjang. Namun demikian, secara faktual MBG adalah program berbasis sekolah aktif. Pada masa liburan sekolah, basis operasional tersebut tidak berjalan secara optimal.
Terkait perspektif tata kelola keuangan negara, anggaran publik harus dikelola dengan prinsip efektivitas, efisiensi, dan kemanfaatan nyata. Anggaran yang tetap diserap ketika instrumen pelayanan tidak berjalan berpotensi menimbulkan inefisiensi dan rendahnya capaian manfaat. Oleh karena itu, peliburan sementara MBG pada masa liburan sekolah tidak dapat serta-merta dipandang sebagai pengurangan hak, melainkan penyesuaian kebijakan berbasis situasi objektif.
Bencana dan Prioritas Kepentingan Umum
Berbeda dengan MBG yang bersifat preventif dan jangka panjang, penanganan bencana adalah kebutuhan darurat dan langsung. Korban bencana tidak memiliki ruang untuk menunggu normalisasi kebijakan. Pemenuhan kebutuhan dasar—terutama pangan—menjadi urusan yang menyangkut kelangsungan hidup dan martabat manusia.
Secara konstitusional, Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan dan pelayanan sosial yang layak. Ketentuan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menempatkan pemenuhan kebutuhan dasar korban sebagai kewajiban utama pemerintah.
Dalam konteks ini, refocusing anggaran MBG untuk penanganan pasca bencana bukanlah penyimpangan kebijakan, melainkan perwujudan asas kepentingan umum dan proporsionalitas.
Dapur Umum Kemensos RI sebagai Instrumen Negara
Kementerian Sosial RI melalui dapur umum dan dukungan Taruna Siaga Bencana (TAGANA) memiliki struktur, sumber daya, dan standar operasional yang jelas. Dapur umum bukan sekadar simbol bantuan, melainkan struktur hukum operasional yang mampu menerjemahkan anggaran negara menjadi manfaat langsung bagi masyarakat terdampak.
Dari sudut pandang legal auditing, penguatan dapur umum justru menghadirkan kejelasan output dan outcome anggaran. Setiap rupiah yang dialokasikan dapat ditelusuri menjadi makanan siap saji yang dikonsumsi korban bencana. Ini sejalan dengan prinsip value for money dalam pengelolaan keuangan negara.
Refocusing sebagai Kebijakan yang Sah dan Beretika
Refocusing anggaran dalam kondisi darurat bukanlah hal yang asing dalam sistem hukum Indonesia. Sepanjang dilakukan oleh otoritas berwenang, bersifat sementara, transparan, dan akuntabel, kebijakan tersebut sah secara hukum administrasi negara.
Lebih dari itu, refocusing anggaran MBG untuk penanganan pasca bencana mencerminkan hukum yang responsif—hukum yang tidak berhenti pada teks, tetapi hadir menjawab realitas sosial. Dalam teori keadilan Gustav Radbruch, ketika kepastian hukum berhadapan dengan penderitaan manusia, maka keadilan dan kemanfaatan patut didahulukan.
Negara, Hukum, dan Nurani
Pada akhirnya, kebijakan refocusing anggaran MBG dalam penanganan pasca bencana di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh bukan semata persoalan teknis anggaran, melainkan soal pilihan etik negara. Apakah anggaran dipertahankan pada skema normal, atau dialihkan sementara untuk menyelamatkan mereka yang sedang berada dalam kondisi paling rapuh.
Nilai ini sejalan dengan peringatan Al-Qur’an dalam QS. Al-Ma‘un [107] dimana Ayat tersebut menegaskan bahwa kepedulian terhadap pemenuhan pangan bagi yang lemah adalah ukuran moral yang fundamental. Dalam negara hukum, pesan ini menemukan bentuk nyatanya pada keberanian negara untuk menata ulang prioritas anggaran demi kemanusiaan.
Refocusing anggaran MBG pada masa liburan sekolah untuk penanganan pasca bencana bukanlah pelemahan kebijakan, melainkan penguatan makna kehadiran negara: hadir tepat waktu, pada tempat yang paling membutuhkan. (*)
