Xpose, Pesantren dan Batas Tipis antara Humor dan Penghinaan

Xpose, Pesantren, dan Batas Tipis antara Humor dan Penghinaan
*) Oleh : Nashrul Mu'minin
Content Writer Yogyakarta
www.majelistabligh.id -

Setelah badai kecaman dari masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), kasus “olok-olok” pesantren dalam program Xpose Uncensored Trans7 kini bergulir ke arah yang lebih serius. Apa yang semula dianggap sebagai “hiburan ringan” telah berubah menjadi isu hukum yang berpotensi menjerat secara pidana. Bukan lagi sekadar soal rasa, tetapi soal pasal.

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), bahkan menegaskan bahwa pihaknya akan meminta Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU untuk menempuh langkah hukum. Sikap ini menandai bahwa perdebatan soal etika penyiaran sudah melangkah ke ranah keadilan. Masyarakat pesantren merasa dihina, tradisi keilmuan Islam direndahkan, dan lembaga penyiaran nasional dinilai gagal menjaga marwah publik yang seharusnya mereka layani.

Namun pertanyaannya kini menjadi lebih rumit: apakah tayangan seperti Xpose Uncensored bisa digugat secara pidana? Sebagian pihak menilai bahwa tayangan tersebut masih bisa berlindung di bawah payung Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, karena dianggap bagian dari produk jurnalistik. Tapi banyak pula yang menolak pandangan itu.

Aktivis media Sam Ardi, misalnya, menyebut bahwa Xpose Uncensored bukan karya jurnalistik — melainkan produk hiburan yang tidak melalui proses peliputan, verifikasi, maupun keberimbangan. Ia menulis, “Ini bukan produk pers, jadi tidak bisa berlindung di bawah UU Pers.” Jika pendapat ini diterima, maka konsekuensinya jelas: tayangan tersebut bisa dijerat pidana umum, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, atau bahkan penodaan agama.

Dalam dunia hukum media, perbedaan antara “produk jurnalistik” dan “non-jurnalistik” memang krusial. UU Pers memberikan perlindungan bagi jurnalis sejauh mereka menjalankan fungsi pers dengan benar — menyampaikan informasi yang faktual, diverifikasi, dan berimbang. Tapi ketika unsur itu absen, perlindungan otomatis gugur. Tayangan yang dikemas dalam bentuk hiburan, sensasi, dan satire tanpa dasar jurnalistik, tidak bisa lagi mengklaim kebebasan pers sebagai tameng.

Masalahnya, Xpose Uncensored tidak menunjukkan tanda-tanda sebuah produk jurnalistik sejati. Tidak ada riset, tidak ada konfirmasi, tidak ada keberimbangan. Yang ada hanyalah narasi sensasional yang mengolok dunia pesantren, dibalut gaya mengomentari yang lebih cocok disebut parodi daripada liputan. Tayangan seperti ini bukan sekadar tidak etis — ia berpotensi menimbulkan stigma sosial terhadap kelompok keagamaan tertentu.

Bila logika hukum diteruskan, maka dasar pidana pun terbuka lebar. Pasal 310 dan 311 KUHP bisa digunakan untuk menjerat pencemaran nama baik dan fitnah. Jika dianggap menyinggung simbol atau ajaran agama, Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama bisa berlaku. Bahkan, bila konten tersebut dinilai menimbulkan kebencian berbasis agama, Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE dapat diterapkan. Semua pasal itu berdiri di atas prinsip sederhana: kebebasan berekspresi bukan berarti kebebasan menghina.

Selain aspek pidana, Trans7 juga harus menghadapi sanksi administratif penyiaran. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, setiap isi siaran wajib menghormati nilai-nilai kesusilaan, lembaga pendidikan, dan kelompok sosial tertentu. Pelanggaran atas ketentuan ini memberi kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memberikan sanksi. KPI sudah bertindak: mereka menyatakan bahwa Trans7 melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS), sehingga program Xpose Uncensored dihentikan sementara.

Langkah KPI ini adalah peringatan keras: dunia penyiaran bukan ruang tanpa etika. Namun, sanksi administratif bukan akhir cerita. Keputusan KPI justru bisa menjadi dasar tambahan bagi pihak pesantren untuk menempuh jalur pidana — karena telah terbukti adanya pelanggaran norma penyiaran.

Kini, Trans7 berada di posisi serba salah. Jika mereka mengklaim bahwa Xpose Uncensored adalah karya jurnalistik, maka mereka harus menunjukkan bukti lengkap: riset, wawancara, hingga mekanisme redaksi. Jika tidak mampu, klaim itu runtuh. Tapi jika mereka mengaku program itu hanyalah hiburan, maka perlindungan hukum mereka hilang, dan pintu pidana terbuka lebar.

Dengan kata lain, Trans7 sedang berjalan di atas tali tipis antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab hukum. Di satu sisi, mereka ingin mempertahankan reputasi sebagai media modern yang kritis dan berani. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan konsekuensi dari kecerobohan kreatif yang melewati batas.

Kasus ini seharusnya menjadi alarm keras bagi dunia penyiaran Indonesia. Kita memang membutuhkan ruang kritik, tetapi bukan penghinaan. Kita memerlukan hiburan yang cerdas, bukan tawa yang menginjak martabat lembaga pendidikan Islam. Karena di negeri dengan masyarakat religius seperti Indonesia, olok-olok terhadap simbol keagamaan bukan sekadar tidak sopan — tetapi bisa jadi delik hukum.

Ketika tawa berubah menjadi perkara, publik belajar satu hal penting: kebebasan tanpa tanggung jawab hanyalah bentuk baru dari kesewenang-wenangan. Kini, giliran hukum yang berbicara — apakah Xpose Uncensored akan berakhir dengan klarifikasi, atau dengan vonis di meja hijau. Waktu yang akan menjawab, tapi satu hal sudah pasti: dalam dunia media, batas antara satire dan penghinaan ternyata lebih tipis daripada yang kita kira. (*)

Tinggalkan Balasan

Search