Yang dimaksud dengan ulama birokrat adalah ulama yang diangkat dan digaji pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengurus urusan-urusan yang terkait dengan kepentingan Ketimuran dan umat Islam Hindia Belanda.
Sedangkan ulama bebas adalah ulama yang secara mandiri mendirikan lembaga-lembaga Pendidikan Islam untuk memajukan anak pribumi muslim yang mendapat diskriminasi sosial budaya dalam konteks politik kolonial Hindia Belanda.
Labih lanjut Qoyim menerangkan bahwa ulama bebas ini yang sering menimbulkan masalah terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Mengapa demikian karena memang topuksi ulama yang diperintah Allah Swt adalah membaca dan menyampaikan, menjelaskan dan mengajarkan serta memutuskan masalah-masalah yang dihadapi umat Islam, menjaga umatnya, dan terakhir tupoksi ulama adalah memberi teladan dalam mengamalkan ajaran Islam.
Pastilah penjajah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak “bersahabat” dengan ulama bebas karena tidak bisa dikendalikan dan diatur sesuai dengan keinginan dan tujuan penjajahan.
Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia kasus-kasus pengasingan Ulama Bebas tercatat dalam tinta sejarah bangsa.
Sebutkan saja misalnya Raden Mas Ontowiryo dikenal dengan panggilan Pangeran Diponegoro meninggal dipengasingan, 8 Januari 1885 di Makassar Sulawesi Selatan, karena melakukan perlawanan terhadap penjajah yang sudah “kebangetan” dan keterlaluan menyiksa rakyat Jawa.
Beliau inilah memimpin Perang Jawa 1825-1830 yang menyebabkan APBN (Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara) Kerajaan Protestan Belanda terkuras. Sayang karena tipu daya dan kelicikan pihak Pemeriantah Kolonial Hindia Belanda pada akhirnya beliau ditangkap.
Contoh lain adalah Depati Amir Pahlawan dari Babel diasingkan Belanda ke Nusa Tenggara Timur (NTT) dan meninggal di Kupang, tahun 1885. KH. Wasid dkk diasingkan ke Maluku pasca perlawanan Banten, tahun 1888.
Tentu masih banyak lagi cara-cara pengasingan yang dilakukan kaum penjajah meredam perlawanan ulama karena membela kebenaran dan anti kezaliman untuk penjaga umatnya.