Perubahan sosial (social change) dan perkembangan masyarakat sekarang ini ikut juga memberi pengaruh terhadap kedudukan ulama di masyarakat.
Beragam istilah dikaitkan dengan kata ulama. Misalnya adalah ulama orsospol (ulama organisasi sosial politik), misalnya ulama orsospol PDIP, Ulama Golkar, Ulama PKB, ada ulama ormas (ulama organisasi sosial keagamaan) misal Ulama NU, Ulama Persis, Ulama Muhammadiyah, dan seterusnya.
Para wartawan pun tak kurang-kurang menambah dengan istilah Ulama Langit, Ulama Khas dan diplesetkan sekarang dengan istilah “Ulama Cash”.
Secara bercanda teman saya melihat dari aspek sosiologis, Dr. M. Yakub Amin, MA, Dosen UIN Syahid Jakarta dan ulama “mimbar” kelahiran Medan ini menyebutkan bahwa ada 4 katagori ulama di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dikatakan ada ulama yang meninggal, ulama yang meninggalkan, ulama yang ketinggalan, dan terakhir ada ulama yang ditinggalkan.
Ulama yang meninggal menurut beliau adalah ulama yang istikamah dengan profesinya sebagai pendidik dan penjaga umat; amal kebajikan, karya tulis, meninggalkan anak didiknya.
Hidupnya benar-benar diabdikan untuk menjaga “ajaran Tuhan” yang disebut dengan ulama pewaris Ambiya.
Kedua, ulama yang meninggalkan profesinya dan beralih ke bidang lain, misalnya loncat ke bidang politik sehingga umat terabaikan.
Fenomena yang berkembang kembali ke khittah merupakan contoh nyata dalam masalah ini. Di sini penulis tak menyebutkan nama ulamanya untuk menjaga nama baik dan marwah para murid-muridnya.
Ketiga, ulama yang tidak mampu menangkap “jiwa zaman”. Ini artinya ada indikasi ulama yang ketinggalan zaman.
Jadi hanya bisa membaca teks, tetapi jauh dari realitas kehidupan nyata dan tak mampu membaca konteks zaman dan masyarakat.
Misalnya sebagai salah contoh-tentu banyak contoh lain- khotbah Jumat memakai Bahasa Arab sedangkan mayoritas jamaah tidak memahami Bahasa Arab. Bukankah khutbah itu supaya pesannya dimengerti jamaah supaya menjadi amalan umat Islam.
Dan yang terakhir adalah ulama yang ditinggalkan jamaahnya karena berbagai kasus yang terjadi dan umumnya persoalan politik dan dunia.
Salah satu contoh (tentu banyak contoh lain) adalah KH Zainuddin MZ, Dai Sejuta Umat ini, pernah terjun ke dunia politik. Lalu bertobat dan kembali ke khittah aslinya sebagai ulama yang sangat disegani dan dihormati masyarakat Indonesia sampai beliau dipanggil pulang Allah SWT, tahun 2011.
Dari berbagai katagori ulama di atas mengerucut kepada istilah yang sudah dikenal luas di dunia Islam sebagaimna yang dikutip dari Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 1111 M). Ada Ulama Akhirat dan ada Ulama Dunia.
Yang celaka sekali kata Abu Hamid (nama asli Imam Al-Ghazali) adalah kalau Ulama Dunia memberi fatwa kepada masyarakat karena untuk kepentingan sesaat (dunia) maka masyarakat akan menjadi rusak. Dan ulama model ini senang sekali dekat-dekat dengan penguasa yang sedang naik panggung berkuasa.
Dalam konteks inilah sebenarnya kata-kata Imam Ghazali yang menyebutkan bahwa rusak umara (penguasa politik dan birokrat) karena rusak akhlak ulama, dan rusak akhlak rakyat karena rusak akhlak umara.
Dalam konteks inilah memahami mengapa Imam Muhammad Idris as-Syafi’i (w. 820 M) di Mesir dikenal dengan pendiri Mazhab Fiqh Syafi’i berpesan kepada umat Islam bahwa supaya jangan sekali-kali berteman dengan Ulama Dunia dan apalagi menimba ilmu kepadanya. Allah alam bi shawab. (*)
*) Artikel ini tayang di suaramuhammadiyah.id
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News