UM Surabaya

Namun di sisi lain, perintah itu bisa dipandang sebagai al-dunyawi karena dampak salat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Tampak pada poin ini al-Ghazali masih belum tegas, terlihat belum ada garis pemisah antara mana yang benar-benar al-dini dan al-dunyawi (Al-Ghazali, 1971:287-289).

Adapun urutan maqasid al-syariah menurut al-Ghazali dibagi menjadi tiga: Pertama, al-dharurat (hak primer). Kedua, al-hajat (hak sekunder). Ketiga,  al-tahsinat (hak suplementer).

Dalam al-Mustasyfa’, al-Ghazali memperluas pembahasan maqasid al-syariah. Menurutnya, maslahat dilihat dari sudut kesaksian agama (syara’) dapat dibagi menjadi tig:

Pertama, maslahat dengan didapat melalui pertimbangan syara’ atau agama. Ini disebut hujjah dan diretas melalui qiyas, metode penyimpulan hukum yang dipahami melalui nash dan ijma’ seperti, setiap makanan dan minuman memabukkan itu haram sebagaimana dianalogikan dengan dalil hukum khamr yang jelas haram karena memabukkan.

Kedua, maslahat yang dijelaskan syara’ sebagai sesuatu yang batil, seperti seorang raja berjimak pada tengah hari bulan Ramadan.

Kemudian seorang ulama menasihati harus mengganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, tujuannya agar raja tidak meremehkan puasa Ramadan.

Sang raja tidak diperintahkan membebaskan budak, sebab jika hanya disuruh membebaskan budak, maka mudah bagi raja melakukannya.

Sehingga tujuan (maslahat) puasa tadi digunakan untuk menakut-nakuti raja, inilah yang menyalahi maslahat puasa sebagaimana dijelaskan dalam Alquran.

Ketiga, maslahat yang tidak disaksikan baik itu dari aspek yang dipertimbangkan syara’ maupun aspek yang dianggap batil oleh syara’, inilah yang belum tegas dijelaskan oleh al-Ghazali.

Dalam al-Mustasyfa’, al-Ghazali lebih detail lagi menjelaskan maslahat. Maslahat tidak dimaknai sebagai hal mendatangkan manfaat dan mencegah kemudaratan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini