*) Oleh: Imron Nur Annas, M.H.
Anggota Majelis Tabligh PDM Nganjuk, Pengajar di Ponpes Ar-Raudlotul Ilmiyah Kertosono
Berbicara mengenai cinta, ada satu hal menarik yang kebanyakan orang mengatakan salah satu bukti cinta adalah cemburu. Benarkah demikian?
Berdasarkan studi literasi dari beberapa bacaan yang ada ternyata, pada hakikatnya, cemburu bukanlah selalu sifat tercela. Di dalamnya terkandung maksud Allah menjadikan sifat itu kepada manusia.
Namun sifat cemburu Allah tidak boleh disamakan dengan sifat cemburu makhluk-Nya. Sebagaimana sifat Allah yang lainnya. Kesamaan nama tidak harus menjadikan kesamaan hakikat.
Jadi, walaupun seorang hamba punya sifat cemburu dan Allah juga punya sifat cemburu, namun hakikat dari dua sifat itu berbeda karena beda penyandarannya. Satu disandarkan kepada Allah dan dan yang satu disandarkan kepada makhluk.
Lantas, bagaimana Islam dengan ajaran yang sempurnanya memandang kata cemburu ini? Berikut beberapa pemaparan mengenai cemburu dalam Islam.
Dalam kitab Riyad as-Salihin karya Imam an-Nawawi bab Muraqabah halaman 36 menuliskan dengan mengambil redaksi hadis dari Abu Hurairah diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
عَنْ أبي هريْرَةَ ، رضي اللَّه عنه ، عن النبيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَغَارُ ، وَغَيْرَةُ اللَّهِ تَعَالَى ، أنْ يَأْتِيَ الْمَرْءُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ » متفقٌ عليه .
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu cemburu dan kecemburuan Allah ialah apabila ada seorang manusia mendatangi “mengerjakan apa-apa yang diharamkan oleh Allah atasnya.” (muttafaq ‘alaih)
Cemburu dalam hadis tersebut adalah diksi indah yang dipilih Rasulullah untuk melukiskan hebatnya sebuah ilustrasi rasa. Kata indah yang berkali-kali Rasulullah utarakan untuk mendeskripsikan sebuah suasana bahwasannya Zat Maha Pencipta Allah yang menggenggam cinta adalah pencemburu pada sebuah situasi atas hambanya.