Setelah berakhirnya bulan suci Ramadan, bagi sebagian umat Islam yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa karena uzur tetap, kini tiba saatnya untuk memenuhi kewajiban fidyah. Umat yang tercakup dalam kategori ini adalah mereka yang memiliki keterbatasan, seperti lanjut usia yang tidak lagi mampu berpuasa, orang yang menderita penyakit kronis, serta perempuan hamil dan menyusui.
Sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 184, mereka yang tidak dapat melaksanakan puasa diwajibkan membayar fidyah. Fidyah ini diwajibkan sebagai pengganti ibadah puasa yang tidak dapat mereka laksanakan, dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari tidak puasa. Jumlah makanan yang diberikan minimal sebesar satu mud bahan pangan pokok, setara dengan 6 ons.
Namun, bagi mereka yang tergolong miskin sehingga tidak mampu membayar fidyah, tidak ada kewajiban untuk membayar fidyah. Hal ini sejalan dengan prinsip yang tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 286 yang menyatakan bahwa Allah tidak memberikan beban kepada seseorang melebihi dari apa yang ia mampu.
Cara Membayar Fidyah
Saat membahas mengenai kewajiban membayar fidyah bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan, penting untuk juga menyoroti tata cara pembayarannya.
Dalam konteks ini, tidak ada ketentuan yang mengharuskan pembayaran fidyah secara berkala setiap harinya ketika seseorang tidak berpuasa di bulan Ramadan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 185 dan prinsip yang tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat 78, Allah SWT tidak memberikan kesulitan dalam agama.
Fatwa dari Lajnah Daimah dari Arab Saudi juga membolehkan pembayaran fidyah secara sekaligus, sebagaimana boleh juga pembayarannya dilakukan secara berkala. Ini sesuai dengan keringanan yang diberikan dalam ajaran Islam.
Selain itu, terdapat pendapat ulama yang memperbolehkan seluruh jumlah fidyah diberikan kepada satu orang miskin saja. Ini didasarkan pada penafsiran ayat Al-Baqarah ayat 184. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama dari berbagai mazhab, seperti Syafi’iah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah.
Sebagai contoh, Sahabat Nabi saw, Anas Ibn Malik, ketika tidak mampu berpuasa di usia tua, memberikan makanan kepada 30 orang miskin dalam satu hari saja. Ini sesuai dengan praktik yang terinspirasi dari ajaran Islam.
Dengan demikian, dalam tata cara pembayaran fidyah, ada ruang untuk fleksibilitas dan kemudahan, sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial yang diatur dalam ajaran Islam.
Wujud Fidyah
Terkait dengan wujud fidyah yang dikeluarkan, ada dua opsi yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan: (1) makanan siap santap, seperti yang dilakukan oleh Anas Ibn Malik r.a. dalam riwayat Ibn Mullas, dan (2) bahan pangan, seperti gandum, cantel, tamar, atau beras.
Pemahaman ini dapat ditarik dari makna umum kata “tha’am” (makanan) dalam ayat fidyah (Surah Al-Baqarah ayat 184). Dalam hadis-hadis Nabi saw, kata “tha’am” digunakan dalam dua makna, yaitu makanan siap santap dan bahan pangan.
Sebagai contoh, dalam hadis riwayat Muslim, Nabi saw bersabda, “Apabila seseorang diundang makan (tha’am), maka hendaklah ia memenuhinya.” Di sini, kata “tha’am” berarti makanan siap santap. Namun, dalam hadis lain, kata “tha’am” juga digunakan untuk merujuk kepada bahan pangan, seperti dalam hadis Abu Hurairah yang menyebutkan penjual bahan pangan (tha’am).
Dari penafsiran ini, fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau bahan pangan. Bahan pangan yang dimaksud di sini adalah makanan pokok seperti gandum, cantel, tamar, atau beras. Di Indonesia, beras seringkali dipilih sebagai bahan pangan pokok untuk membayar fidyah, dengan jumlah sebanyak 6 ons untuk satu hari meninggalkan puasa karena tidak mampu berpuasa.
Dengan demikian, umat Islam diberikan pilihan yang luas dalam membayar fidyah, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka, sejalan dengan prinsip fleksibilitas dan keadilan yang diatur dalam ajaran agama. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News